Berawal dari Puncak Lawu inilah aku berani bermimpi besar.
Sehari
setetelah Ujian Nasional dilaksanakan aku diajak teman-temanku untuk mendaki ke
Gunung Lawu. Tanpa persiapan fisik sama sekali. Biasanya sebelum mendaki itu
harus mempersiapkan fisik terlebih dahulu dengan olahraga agar badan bisa fit.
Yang persiapan saja biasanya belum tentu sampai puncak apalagi yang tanpa
persiapan. Aku sama sekali tak memikirkan hal ini waktu itu. Yang aku fikirkan
hanya aku bisa sampai puncak Lawu.
Aku
pernah menderita ashma. Biasanya kalau terkena hawa dingin langsung kambuh.
Tapi tetap saja aku nekad untuk berangkat mendaki. Alhamdulillah orang tua
mengijinkan karena di rombongan itu ada guruku. Dalam rombongan ada enam
laki-laki dan dua perempuan termasuk aku. Ah, rasanya seperti mimpi saja.
Saat
aku menenmpuh perjalanan aku meyakinkan diri bahwa aku bisa sampai Puncak Lawu.
Aku pasti bisa. Itu gumanku dalam hatiku dan aku tanamkan dalam otakku. Aku tak
akan menyerah untuk sampai di Puncak. Bismillah.
Hawa
dingin menusukk jantungku. Jantungku pun berdebar-debar ketika kakiku
menginjakkan di start pendakian. Ku
berdo’a dengan kepala menengadah ke langit. Semoga aku selamat sampai puncak
hingga kembali lagi disini. Kuatkanlah kakiku melangkah untuk menikmati
keindahan alam-MU dan kebesaran ciptaan-MU.
Langkah
demi langkah kaki ini meninggalkan start
pendakian. Jauh. Semakin menjauh. Kaki ini terasa ringan untuk melangkah.
Sejuknya hari itu membuatku semangat. Indahnya pemandangan itu membuatku tak
henti tersenyum. Ah, sungguh indah pemandangan yang Allah suguhkan padaku saat
ini. Yang menghiasi sepanjang perjalananku.
Di
sepanjang perjalanan itu terdapat beberapa pos untuk istirahat. Nah, untuk
menentukan seseorang itu bisa sampai puncak atau tidak itu ditentukan oleh
kondisi pada saat sampai di pos 2. Kalau wajah pucat dan tangan dingin, tidak
boleh melanjutkan perjalanan. Begitu sebaliknya. Alhamdulillah rombonganku
terlihat sehat-sehat saja. Mungkin ada sedikit rasa lelah yang menggelayuti. Akhirnya
rombonganku berhenti sejenak.
Sayup-sayup
terdengar suaara adzan dhuhur berkumandang. Kami pun melaksanakan sholat.
Walaupun mendaki itu menguras tenaga dan waktu, namun kewajiban beribadah harus
tetap dilaksanakan.
Di
tengah-tengah perjalanan ada temanku cewek (Danik) yang kelelahan dan ia perlu
digandeng tangannya. Sebaliknya dengan aku, aku terlalu bersemangat. Melangkah
lebih cepat dari teman-temanku cowok. Mereka ku tinggal. Ah, aku jadi lupa
dengan danik yang tengah berusaha untuk berjalan. Aku pun harus menemaninya.
Aku selalu menyemangati Danik bahwa kita mampu sampai puncak.
Perjalanan ini
memang butuh tenaga ekstra untuk bisa sampai puncaknya. Sesekali ia jalan lalu
berhenti lagi. Jalanan yang aku lalui saat itu seperti tangga. Ada bebatuannya
pula. Jika hujan pasti jalanan ini licin. Aku tak bisa membayangkannya.
Syukurlah hari itu tidak hujan. Sesekali aku mencari jalan pintas agar aku
sampai lebih awal dari teman-temanku. Karena kau tak suka yang biasa dilewati.
Selalu mencari sensasi baru diperjalanan.
Di sepanjang
perjalanan itu aku sering berpapasan dengan pendaki-pendaki lainnya. Mereka
membawa tas gunung dan sepatu khusus. Sedangkan aku hanya memakai sepatu cat
dan tas yang biasanya untuk sekolah. Wah, aku terlalu minimaalis saat itu.
Seperti main-main saja. tak senyumin aja ketika mereka melirik ke arahku.
Mereka juga membawa tongkat, aku tangan hampa. Rasanya seperti sudah ada yang
menuntunku sepanjang perjalanan. Alay
euy.
Hari sudah
semakin sore. Semburat senja begitu terlihat. Langit-langit memerah. Matahari
mulai tenggelam. Mata terpana melihat keindahan-NYA. Mulut ini tak
henti-hentinya bertasbih memuji-NYA. Gelap semakin gelap. Kemerlap lampu di
perkotaan terliahat begitu memukau. Cahayanya seperti bintang di langit.
Ternyata itu adalah gemerlap lampu kotaku. Ngawi tercinta.
Perjalanan
kurang 1 jam lagi sepertinya. Kaki ini mulai terseok-seok untuk melangkah.
Allah kuatkanlah langkahku. Pintaku dalam hati. Alhamdulillah cahaya lampu di
puncak mulai terlihat. Pertanda bahwa sebentar lagi akan sampai.
Yeah, akhirnya
sampai juga di salah satu warung yang berdiri di puncak Lawu. Disitulah aku
bermalam karena tidak bawa tenda pribadi. Kurebahkan tubuhku lalu mengambil
wudhu. Bbbrrr. Dinginnya benar-benar menusuk jantung. Dinginnya air di puncak
itu melebihi dinginnya air es. Setelah wudhu pun aku memakai jaket double. Pakai sarung tangan dan kaos
kaki double juga. Barulah aku
mendirikan sholat.
Saat tidur
tubuhku menggigil kedinginan. Guruku merelakan Slim Bag-nya tak pakai. Ah, aku jadi merasa merepotkan orang.
Alhamdulillah Allah menolongku.
Keesokan
harinya jam tiga sudah mulai bangun semua. Segeralah aku bersiap-siap menuju
puncak Lawu. Disana sudah banyak orang yang berkerumun untuk menyaksikan
terbitnya sang Surya. Satu hal yang tak pernah kulupa saat-saat perjalanan.
Mukena. Aku bersikeras membawanya walaupun terlihat ribet. Dan aku akan
mendirikan sholat shubuh di puncak Lawu.
Fajar telah
terbit. Subhanallah. Inilah pertama kalinya aku menyaksikan terbitnya fajar
dari ketinggian. Benar-benar merasakan kekuasaan-NYA yang luar biasa. Allah
Maha Besar. Sungguh seakan aku tak percaya bisa sampai puncak Lawu ini. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Itulah
sekilas cerita perjalananku menuju puncak Lawu. Dari sinilah aku belajar. Dari
sinilah aku berani bermimpi besar. ‘Beranilah bermimpi besar karena matahari
yang besar dan panas itu mampu ku genggam dengan tangaku’. Itulah kata-kata
yang selalu ku ingat dari Danang.A Prabowo. Aku yakin, yakin, dan yakin pasti
BISA. Itu yang aku tanamkan dalam diriku. Karena yakin bahwa Allah bersama
selalu. Karena aku yakin bahwa Allah selalu menjawab semua do’aku.
Ini sebagian foto-foto saat aku di Gunung Lawu:
Ini sebagian foto-foto saat aku di Gunung Lawu:
Detik-detik terbit fajar
Terbit fajar
Sekitar puncak
Pekarangan bunga dekat warung
Jelajah puncak
Rumah botol
Negeri di atas awan
Apa
yang dapat kalian petik dari sekilas perjalananku???
0 komentar:
Post a Comment