"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Thursday, December 1, 2016

Perjalanan Gathering Nasional KLIK

Surabaya, 14-16 September 2016

Pengurus KLIK Surabaya dan perwakilan KLIK Malang

Tidak ada WhatsApp, SMS pun jadi. Alhamdulillah aku masih bisa koordinasi dengan teman-teman pengurus KLIK Surabaya walaupun tidak bisa maksimal.

Sebulan lalu seluruh pengurus KLIK Surabaya berencana akan ikut Gathering Nasional yang diadakan di Malang. Ternyata di hari H, hanya enam saja yang bisa hadir. Ada aku (Dwi), Dewi, Liswa, Ria, Asa, pak Zain feat istri. Yang lainnya berhalangan hadir karena ada urusan yang harus diselesaikan.

Jum’at sore, aku dan ketiga temanku akan berangkat ke Malang naik kereta. Pak Zain dan istrinya berangkat mengendarai sepeda motor. Sedangkan Asa berangkat hari sabtu pagi naik kereta juga.

Jadwal keberangkatan kereta jam 20.05. Aku memilih berangkat setelah magrib jam 17.50 karena aku lupa jalan menuju stasiun sehingga aku minta tolong saudaraku untuk mengantarku. Jika berangkat setelah isya’ aku takut kalau macet dan terlambat. Konon jalan menuju stasiun itu rawan macet. Sedangkan mereka bertiga memilih berangkat setelah isya’.

“Dik, segera kesini ya. Setelah sholat langsung berangkat”, kata temanku.

“Oke”, jawabku singkat.

Sempat bingung ketika sudah mendekati jalan menuju stasiun. Antara belok kiri atau kanan. Akhirnya aku memilih belok kanan.

“Nah, ini stasiunnya. Turun sini saja kalau begitu,” kataku sambil menunjuk pintu masuk parkiran samping stasiun.

“Ya sudah. Hati-hati ya dik.”

“Ok. Siap.”

Langkah kakiku sejenak berhenti ketika memasuki parkiran.

“Kok, ada yang aneh ya,”  kataku dalam hati. Langkahku semakin pelan saat aku melihat gerbang utama stasiun. Kuperhatikan baik-baik. Mataku tak kucek-kucek. Kepalaku tak garuk pelan, padahal tidak gatal. Aku mengingat-ingat stasiun yang pernah kudatangi pertama kali dulu.

“Kok begini ya stasiunnya. Perasaan dulu tempat duduknya tidak diluar begini. Tampilannya kok tidak sama dengan stasiun yang pernah kudatangi dulu itu. Loketnya juga beda. Dulu ada mushola di samping sana (tegok-tengok),” sambil duduk mengamati.

“…Atau memang stasiunnya sudah direnovasi ya (manggut-manggut). Teruuuss, kok secepat ini ya renovasinya (gigit jari). Hebat banget. Sssttt… Jangan-jangan…”, aku melongo. “Jangan-jangan sekarang aku berada di stasiun baru. Wah, aku baru sadar ini. Oh Allah. Betapa polosnya aku ini (menelan ludah)”.

Aku segera merogoh HP di tasku. Kucoba untuk menenangkan diri. Segeralah aku mengirimkan pesan ke mbk Liswa. Menanyakan kepastian dimana aku ini berdiri.

“Mbak Lis, stasiun Gubeng itu memangnya ada dua ya? Gubeng Lama dan Gubeng Baru?”
Aku benar-benar tidak tahu.

“Iya mbak. Kenapa?”, balasnya.

“Terus kita nanti berangkat ke Malang naik kereta darimana?”

“Dari Gubeng Lama mbak.”

“Ya Allah. Mbak Liiisss. Kayaknya aku sekarang berada di Gubeng Baru deh.”
Untuk memastikan kebenaran, aku menanyakan kepada petugas yang bersliweran di depanku. Ternyata memang benar dugaanku, aku berada di stasiun baru.

“Yaaah, benar mbak. Aku di stasiun baru. Btw, stasiun baru dan lama itu beda atau  sama? Bersebrangan kah? Aku gimana donk?”, cemasku.

“Tak jemput.”

“Oke deh kalau gitu. Aku menunggu dimana mbak?”
Adzan isya’ berkumandang. Aku masih saja menunggu di kursi tunggu yang disediakan di stasiun.

“Di depan stasiun ya”

“Maksudnya depan gerbang mbak? Sebelah mana ya?”

Duh, polosnya aku ini. Hhhmm, ya bertanya lah pada petugas. Kan ada petugas yang jaga tuh. #TepokJidat.

“Eh, gak jadi mbak. Aku sudah bertanya pada petugas. Oke. Aku tunggu di depan ya.”

“Iya. Aku otw.”

Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas menuju gerbang depan stasiun. Sesampainya, aku berdiri di pinggir jalan tepat pintu masuk ke stasiun. Berkali-kali sopir taksi dan tukang becak menghampiriku untuk menawarkan jasanya. Aku bilang kepada mereka bahwa aku sedang menunggu jemputan teman.

Kulihat masih jam 19.15. Tenang, baru 15 menit aku menunggu.

“Mungkin sebentar lagi datang. Kan bersebrangan stasiunnya.” Pikirku.

Kulihat lagi, sudah jam 19.30.

“Wah, 30 menit lagi. Kok belum datang ya.” harap-harap cemas.

Segera kulayangkan SMS ke mbak Ria.

“Mbak, kereta berangkat jam berapa?”

“Jam 20.05. Ini Liswa masih otw. Jangan SMS ya. Dia lagi nyetir soale.”

“Oke mbak. Kutunggu.”

Jam 19.45. kukirimkan pesan lagi ke mbak Ria.

“Mbak, kok belum datang juga ya. 20 menit lagi loh.”

“Tunggu dek. Jalanan masih macet.”

“Iya deh mbak.”

Jam 19.50. Jantungku berdetak cepat. Kurang 15 menit lagi kereta kan melaju. Tapi mbak Liswa belum juga muncul. Ya Allah. Aku hanya bisa berserah diri pada-MU.

Tepat 19.55 mbak Liswa datang.

“Mbak, ayok”

“Iya. Ayok.”

Segeralah aku naik ke motornya.

“Kurang berapa menit mbak Dwi?”

“10 menit lagi mbak”

“Oke. Maaf ya kalau ngebut.”

“Iya. Gpp.”

100 meter dari titik aku berdiri tadi, kepalaku tak pegang. Ya Allah. Ternyata aku tidak pakai helm. Wah. Mungkin mbak Liswa lupa ngasihkan helmnya.

Kulihat arah depan bawah motor mbak Liswa. Tidak ada helm yang menggantung di motornya. Aku mau bertanya tak urungkan karena ia sedang ngebut. Ya sudahlah. Bismillah. Semoga tidak ada polisi.

Ketika akan melewati rel, tiba-tiba palang kereta tertutup. Jantungku dag dig dug.

            “Mbak, jangan-jangaaan, kereta yang mau kita naiki mau lewat ini mbak. Wah, gimana ini?”

            “Alamat mbak, kita berangkat besok kalau misal sudah berangkat keretanya.”

Aku terus melantunkan sholawat Nabi. Jantungku benar-benar masih berdegup. Palang sudah terbuka, ternyata hanya kepala kereta saja yang lewat. Nah, ketika kita sampai di tengah-tengah rel, tiba-tiba palang akan menutup lagi. Ayooo mbak sedikit lagiii. Seruku. Alhamdulillah aku tidak sampai terjebak di tengah rel. Rintangan akhirnya terlewati.

            “Jangan-jangan yang mau lewat itu adalah kereta tujuan malang, mbak,” seruku lagi.  Tanpa ada jawaban dari mbak Liswa.

Sedari tadi kepalaku tak pegang terus. Ketika di tikungan jalan mbak Liswa berkata, “Mbak Dwi gak bawa helm ya? Duh aku sampai lupa.”

            “Hehe, iya mbak. Aku gak bawa helm. Tadi kan aku diantar, jadi helmnya yaa dibawa lagi.”
           
           “Haha, aku lupa bawakan juga. Gak sadar saking mendadaknya.” sahutnya. “Nanti kalau misal kita ketinggalan kereta, kita berangkat besok saja mbak. Tapi kita usahakan kita segera sampai. Semoga tidak terlambat.”
           
           “Iya mbak. Aamiin.”

Sampai di perempatan, jalanan ternyata macet. Katanya ada acara di Grand City. Ketika sampai di tengah jalan, aku disuruh berhenti mbak Liswa. Turun di tengah jalan. Menerobos kemacetan. Aku diturunkan tepat didepan stasiun. Sedangkan mbak Liswa memilih putar balik agar sampai stasiun.

          “Mbak Dwi turun sini saja ya. Mbak nerobos jalanan agar segera sampai. Eman-eman tiketnya. Ntar hangus. Jika aku terlambat, aku tak berangkat besok saja.”
           
          “Iya mbak. Oke. Terus tiketnya?”
          
          “Ada di mbak Ria, mbak. Nanti hubungi mbak Ria ya.”
        
          “Iya mbak,” sahutku sambil lari menerobos kemacetan.

Aku bergegas turun dari motor. Menerobos kemacetan. Menghentikan mobil-mobil yang lewat dengan tanganku. Aku berjalan sekuat tenaga, walaupun saat itu kakiku sedang sakit.

Sampai di depan stasiun. What (menepuk jidat), aku kan gak bawa tiket. Oh ya, aku harus segera menghubungi mbak Ria. Seketika itu pula aku melayangkan pesan ke mbak Ria.

Di depan parkiran terlihat ada wanita yang sedang duduk. Kudatangi dengan lari tergopoh-gopoh dan berharap itu adalah mbak Ria.

Taukah apa yang terjadi? Ternyata itu bukan mbak Ria.

Lalu kubuka pesan dari mbak Ria.

Dhek, tiket kalian tak titipkan pak security yang jaga di depan.

Mataku terbelalak. Aku lari terbirit-birit bak dikejar anjing menuju pintu masuk. Nafasku ngos-ngosan.

            “Pak, apakah tadi ada tiket yang dititipkan?”

            “Iya mbak. Ada. Atas nama Dwi Andayani ya?” sahutnya. “Pak, nambah satu lagi bisa apa 
tidak?”, lanjutnya ke petugas yang di dalam kereta.

            “Iya pak. Dwi Andayani.”

            “Maaf mbak. Kereta sudah jalan.”

            “Yaaahh, ya sudah pak.” Aku langsung lemas. Mencari tempat duduk di dalam stasiun dan 
menenangkan diri. Menarik nafas panjang setelah berlarian.

Para petugas stasiun mulai berkemas. Hari sudah malam. Stasiun mulai sepi. Pintu gerbang ditutup. Aku pun terpaksa menunggu di luar stasiun. Rasanya badanku langsung lemas seketika. Memang belum rezeki untuk berangkat malam itu.

Segeralah aku SMS mbak Liswa. Mengabari bahwa aku sudah terlambat. Aku bingung mau pulang naik apa. Dan mbak Liswa menawariku untuk diboncengnya lagi. Alhamdulillah.

Lima menit kemudian.

        “Mbak, ayoo,” panggilnya menggungah lamunanku. “Waah, sendirian. Menunggu sampai stasiunnya tutup. Memang berangkat jam berapa mbak?” ledeknya dengan tertawa kecil.

            “Eh, iya mbak. Ayoo. Hiiikkss, aku sendirian. Berangkat jam 6 bisa terlambat,” nyengir lalu tertawa.

Hari ini memang banyak sekali pengalaman-pengalaman yang tak kan pernah kulupa. Pengalaman yang paling mengesankan selama aku di Surabaya ini. Ya, baru kali ini aku bisa terlambat naik kendaraan. Rasnya sesuatu sekali, karena aku tidak terbiasa terlambat dalam hal apapaun.

Di perjalanan pulang menuju kontrakannya mbak Liswa, aku sedari tadi senyum-senyum sendiri. Pipiku tak cubit-cubit. Seakan-akan kejadian malam ini seperti mimpi. Begitupun mbak Liswa, ia senyum-senyum juga.

       “Pasti nanti bakalan heboh mbak di kontrakan. Heboh karena kita tidak jadi berangkat,” cetusnya.

            “Hahaha, iya mbak. Pasti itu”.

            “Eh, bagaimana kalau besok kita naik sepeda motor saja mbak?”

            “Hhmm, tapi aku tidak punya SIM mbak. Mbak punya kan?”

            “Punya mbak. Tapi motorku gak kuat di jalanan menanjak mbak.”

            “Hhhmm, pakai motorku aja mbak. Kuat kok mbak.”

            “Oke deh kalau gitu. Berarti kita sekarang menuju Masjid Manarul, ngambil motormu dulu ya mbak.”

            “Iya.”

Sampai di Manarul, aku  ditanyai mengapa bisa sampai terlambat naik kereta. Saudaraku tertawa setelah tau ceritaku. Ia geleng-geleng kepala. Ia pun meledekku.

Perutku berontak. Memanggil-manggil pemiliknya untuk diisi. Kupegang perutku. Belum terisi. Segeralaha aku pulang dan beli makan. Malam itu aku memilih untuk menginap di kontrakan mbak Liswa agar besok bisa berangkat bersama dan tidak terlambat.

Saat kami berdua beli makan. Mbak liswa bertemu negan teman kostnya. Temannya kaget dan spontan bertanya. Mbak Liswa pun menceritakan kejadian yang kami alami Ia tertawa dan geleng-geleng kepala. Begitu pula sampai di kostnya mbak Liswa, ia mendadak jadi narasumber.

Setelah selesai menceritakan semua kejadian malam ini, mbak Liswa chattingan di grup whatsapp KLIK Surabaya. Menceritakan kejadian yang terjadi tadi.

Heboh sekali malam ini. Ternyata tidak hanya aku dan mbak Liswa saja yang mengalami kejadian miris ini. Mbak Dewi dan mbak Ria juga mengalami kejadian miris.

Ceritanya, mbak Dewi menabrak tong sampah ketika ia lari menuju stasiun. Ia lari karena sebentar 
lagi kereta melaju. Saat itu pula ada bapak-bapak yang bilang, “Wedhus (bin : kambing). Seketika itu pula langkah mbak Dewi dan mbak Ria berhenti. Mereka berdua hanya bilang minta maaf lalu pergi. Bapaknya mengatakan ‘wedhus’ lagi.

Beda lagi dengan mbak Ria. Ketika mereka berdua sudah sampai di stasiun Malang, mereka menunggu jemputan. Tengah malam mereka hanya berdua dan ditemani dua sejoli. Uhuyy, jangan baper yaah.

Katanya sopir yang akan menjemput, sebentar lagi ia kan datang. Mbak Ria dan mbak Dewi girang sekali mendengarnya. Lalu mbak Ria beranjak dari tempat duduknya. Ia melihat ada mobil Avanza putih yang baru datang dan tengah akan parkir di dekat stasiun. Mbak Ria menunjukkan hal itu pada mbak Dewi.

Mbak Ria senangnya bukan kepalang. Ia harap segera merebahkan tubuhnya di kasur. Duh, senangnya.

Ia pun lari dan menyeret mbak Dewi. Ia ingin segera masuk mobil. Nah, ketika sampai di samping mobil, ia berkaca-kaca di kaca mobil. Duh, aku bingung berkata-kata. Saat itu, pak sopir yang mengendarai mobil itu turun.

“Mbak, itu siapa. Kok sopirnya bukan mas Icik?” sambil menutup mulut dan bicara pelan.

“Duh, iya dek. Kayaknya ini bukan mobil yang mau menjemput kita deh.”

“Wah, yuukk mbak kita pergi”

Akhirnya mereka beranjak pergi dari mobil itu. Dan tak lama kemudian mobil dari KLIK Malang telah datang. Mbak Ria malu bukan kepalang. Hahaha.

Lain lagi kejadiannya Asa. Ketika perjalanan naik kereta menuju Malang, orang yang duduk bersebrangan dengan kursinya ada bapak-bapak yang tidurnya mendengkur alias ngorok. Disitulah ia merasa tidak nyaman. Lalu ia mengirim pesan di WA, grup KLIK Surabaya.

“Pagi-pagi sudah ada grandong,” kata Asa.

Serentak, aku dan mbak Liswa yang duduknya dibelkang Asa langsung tertawa. Ya Allah, bapak itu dikatakan grandong. Sungguh teganya dikau Sa. Aku hanya membatin saja.

Memang, sepanjang perjalanan itu bapaknya mendengkur terus. Ketika ia dibangunkan untuk pengecekan tiket, ia sama sekali tidak bangun. Ketika dibangunkan malah suaranya semakin keras. Siapa yang tidak tertawa. Hahaha. Ini suasanan perjalanan yang mungkin tak akan terlupakan.

***
Ada-ada saja pengurus KLIK Surabaya ini. Setiap pengurus pasti ada saja kejadian miris yang dialami. Kalau teringat akan kejadian ini pasti rasanya ingin tertawa. Karena ini adalah kejadian yang semasa hidupku baru pertama kalinya aku mengalami. Semoga kedepannya aku tidka mengulanginya lagi.

Itulah sedikit coretaan penaku. Dwi Andayani. Pengurus KLIK Surabaya. Mungkin tulisannya masih belum beraturan. Maafkan. Aku masih belajar menulis kawan. 

Subhanallah. Alhamdulillah. Allahu Akbar. Perjalanan kami (Pengurus KLIK Surabaya) berjalan dengan penuh perjuangan. Dan akhirnya kami dipertemukan dengan saudara-saudara KLIK dari berbagai daerah. Seluruh pengurus KLIK Indonesia berkumpul jadi satu di Villa Putih Batu. Kami benar-benar meraasakan kekeluargaan itu. Banyak pelajaran kami dapatkan dari pertemuan itu. Semoga tahun depan, 2017  nanti kita bisa berkumpul lagi di Surabaya. Aamiin.
Read More

Lembaran 212

Lembaran 212

Bertepatan dengan hari jum’at. Hari dimana pahala berlipat. Dihari jum’at ini juga dianjurkan untuk memperbanyak sholawat. Duh, senangnya jika datang hari jum’at. Hari spesial yang katanya juga dianggap hari keramat.

Ada yang bilang bahwa hari jum’at adalah hari pendek. Anak sekolah dipulangkan lebih awal. Jika sudah waktunya masuk sholat jum’at, para pekerja berhenti dari aktivitasnya. Kurang lebih satu jam pelaksanaannya. Mungkin dari sinilah hari jum’at dianggap hari pendek.

Hari ini bertepatan dengan Aksi 212 di Tugu Monas, Jakarta, aku milad yang ke-21. Tahun-tahun sebelumnya tidak ada moment-moment yang membersamai hari miladku. Hari dimana aku dilahirkan ke dunia. Jadi terharu.

Sebelumnya, aku sempat terssentak ketika ada yang bilang bakal ada Aksi 212 di Jakarta. Aku bertanya-tanya pada teman-teman, ternyata Aksi 212 adalah aksi bela Islam yang ke III yang bertepatan dengan hari Jum’at, 2 Desember 2016, tepat tanggal lahirku.

Ketika kebanyakan orang merayakan milad dengan memotong kue, mengadakan pesta, dan kegiatan lainnya. Disini aku hanya bisa menengadahkan tangan, lalu sujud syukur karena masih diberikan umur panjang untuk bisa menjadi khalifah dimuka bumi ini.

Disana, di Jakarta ada aksi 212. Aku hanya bisa mendo’akan dari tempatku berdiri ini. Semoga aksi 212 diberikan kemudaahan, kelancaran dan selalu dalam lindungan-NYA. Semoga saudara-saudaraku disana terselamatkan dan terhindar dari marabahaya. Selamat berjuang wahai saudaraku yang di Jakarta.

“Tidak ada perayaan khusus ketika milad, lhaa wong di Jakarta ada Aksi 212. Itu sudah menjadi saksi peralihan usiamu. Nanti tinggal minta tolong ustad disana untuk mendo’akanmu. Berhenti sejenak untuk potong kue,” hibur seorang temanku kemarin, 1 Desember 2016.

Belum banyak hal yang bisa aku lakukan. Aku belum bisa menjadi yang terbaik. Tapi aku akan berusaha menjadi yang terbaik. Bicara masalah agama, aku juga masih belum banyak ilmu yang kupelajari. InsyaAllah aku akan terus belajar Islam sampai malaikat pencabut nyawa menjemputku. Aamiin.

Saat peralihan usia yang bertepatan dengan Aksi 212, aku belum bisa ikut berpartisipasi ke Jakarta. Aku merasa bahwa aku belum bisa apa-apa. Mungkin aku nanti akan cari wifi lalu streaming untuk menyaksikan langsung apa yang terjadi di Jakarta.

“Tidak harus kesana untuk berpartisipasi. Cukup do’akan mereka yang ada disana. InsyaaAllah itu sudah mewakili,” kata temanku menyemangati.

Alhamdulillah selalu ada jalan disetiap kesulitan. ALLAH selalu membukakan pintu rezeki dari arah mana saja. Ketika tidak ada paketan, ada wifi gratis yang disediakan. Duh, senangnya hatiku.

Tidak banyak hal yang mampu aku tuliskan.

Maafkan jika tulisanku tidak beraturan.

Karena aku masih belajar menuangkan isi hati ke tulisan.

Cukup ku katakan, “Perayaan miladku dirayakan oleh ratusan muslim di Jakakarta. Ini spesial banget. ALLAH berikan aku kejutan yang tak terduga. Semoga aku bisa menjadi anak yang sholihah dan istri sholihah (Eh, yang ini masih menunggu antrian dari ALLAH). Aamiin.”
Read More

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena