"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Sunday, January 30, 2022

Hanya Sebuah Perumpamaan

Malam sebelum keberangkatan sudah niat naik bus eksekutif. Tapi jika duluan ekonomi yang datang, tetap akan saya terima. Mana yang duluan, itulah yang terbaik. Asal waktunya tidak mepet jam.

Jam 01.30 sudah dibangunkan oleh ibu. Jam 01.50 siap berangkat dari rumah. Tepat jam 02.20 dapat bus mini Ngawi - Caruban.

Alhamdulillah dapat bus mini.

10 menit kemudian, ada bus eksekutif lewat.

"Nduk, tadi kalau kamu mau sabar sejenak pasti kamu bakal naik bus eksekutif", kataku menasehati diri.

" Alhamdulillah gpp naik bus mini dulu sampai Caruban. Nanti sampai pemberhentian bus bisa naik bus yang lain. Lagian kalau sudah ada bus mini beroperasi biasanya bus eksekutif itu nggak mau ngangkut penumpang dari perempatan itu. Aturannya sudah begitu. Kecuali jika belum ada bus beroperasi, dia baru mau ngangkut", sisi lainku berbicara.

Sesampainya di pemberhantian bus, Masyaa Allah, Alhamdulillah, Allah datangkan lagi bus eksekutif. Ia berhenti tepat setelah saya turun dari bus mini tadi. Rasanya bahagia sekali. Padahal ini hanya perihal naik bus.

Begitulah dengan kehidupan yang kita jalani kemarin, hari ini, esok dan seterusnya. Apa yang kita inginkan, terkadang  tak sesuai dengan kenyataan. Maka, selalu siapkanlah hati yang lapang. Agar ia bisa selalu menerima segala keadaan  baik susah maupun senang. Yakinlah, semua itu ada saatnya. Ada waktu yang sudah Allah tetapkan dan persiapkan sedemikian rupa. Apapun itu.


Padahal hanya sekedar sebuah kejadian kecil, tapi Allah gerakkan hati dan tangan untuk lekas menuliskan.



Ditulis dalam perjalanan Ngawi Jombang, 

Bus Eka, 31 Januari 2022

03.22

Read More

Monday, January 24, 2022

Masih Tentang Rezeki

Kisah ini sepertinya sudah pernah ku ceritakan di postingan instagram, tapi tak mengapa jika ku tuliskan kembali di blog ini.

Tentang sebuah rezeki yang datang tak disangka.

Sejak tahu buku NKCTHI di IG, sebenarnya aku pengen banget meminang bukunya. Tapi aku sadar diri bahwa nggak boleh beli buku lagi sebelum buku2 yang pernah tak beli habis terbaca. Pernah juga mau dipinjami sama teman, tapi belum sempat untuk ambil ke rumahnya.

Eh, suatu hari aku diajakin sahabatku di acaranya Bank Indonesia. Talkshow dengan penulisnya NKCTHI langsung. Dan waktu itu sebenarnya aku dikasih kesempatan ngomong pas seminar, lha kok waktu itu pas aku barusan selesai dari belakang. Kelewat donk jadinya. Ndak jadi ngobrol sama penulisnya NKCTHI donk. Hehe.

Teruuuss, beberapa peserta pilihan mendapatkan marchendise berupa buku NKCTHI, dan aku optimis dapat donk.

Alhamdulillaaaahh, pas Minggu dapat info kalau aku dapat paketan. Senin pagi, langsung tak buka donk. Isinya buku NKCTHI. Dan aku langsung loncat kegirangan karena seneng banget. (Dasaaaarrr anak kecil).

Masyaa Allah. Tabarakallah. Niat hati kepengen punya, Allah kasih dengan cuma-cuma. Gratis tanpa bayar sepeserpun. Dapat ilmu saat talkshow plus dapat hadiah buku yang diimpikan.

Dan dalam waktu berdekatan, aku diajak sahabatku lagi untuk ikutan webinar dari PT Pegadaian terkait Arrum Haji. Tak iyain aja. Aku langsung daftar saat itu juga.

Oh ya, sahabatku ini sering banget ikutan seminar/talkshow/webinar dll yang dimana didalamnya pasti ada hadiahnya. Ia pun jadi sering dapat hadiah. Karena ia aktif bertanya. Memang antusias banget anaknya.

Nah, balik lagi ke ceritaku ya.

Saat seminar berlangsung, aku mendengarkan sembari beraktivitas. Lalu aku pun didesak sahabatku untuk mengajukan pertanyaan. Waktu itu aku sedang ada kesibukan sih, jadi belum sempat kepikiran apa yang mau ditanyakan. Akhirnya si sahabatku yang menuliskan dan aku yang mengirimkan ke forum tersebut. Kebetulan saat itu seminarnya online melalui zoom.

Okelah ku edit sebagian isinya lalu ku kirim di kolom chat zoom. Lalu ku tinggal keluar dan out ditengah jalan. Selepas dari luar, aku dichat WA sama sahabatku.

"Kamu menang. Tadi kamu dipanggil mas Dwi. Wkwkwk"

Panjang lebar dia memberiku kabar kalau menang. Setelah ku tengok laptop, ternyata webinarnya sudah buyar. Loh, tapi aku kok bisa menang? Haha.

Sahabatku ini antusias banget. Dia menjabarkan panjang lebar prosedur pengambilan hadiah. Discreenshoot semua hal-hal penting terkait pemenangnya itu. Contact person pun ia simpan dan dikirim ke WAku. Baik banget sih sahabatku ini.

Dan, sahabatku ini malah nggak jadi pemenang saat webinar Arrum Haji ini. Aku jadi sungkan sama dia.

Kira-kira begini percakapan kami setelah tahu aku menjadi pemenang penanya terbaik.

"Leh anti tadi gak bertanya kah?", tanyaku.

"Bertanya, tapi kurang dowo. Wkwkwk. Dadi ga kepilih. Namanya rejeki kan wes diaturrr. Ngene iki ben kamu ya semangat melu webinar lek tak jak. Masio nang tengah dalan out. Kamu selalu out. Dipilih interaksi dg penulis langsung, yo out. Dasar."

Masyaa Allah. Tabarakallah. Memang betul, rezeki sudah diatur. Mau saya pulang duluan, keluar duluan, kalau sudah rezeki pasti ya kan datang. Kan menemui tuannya.

Sahabatku. Semoga kebaikan-kebaikanmu dilipatgandakan oleh Sang Maha Pemberi Rezeki. Kalau kamu nggak mengajakku ikut webinar ini, mungkin ku nggak tau bentuknya Baby Gold itu seperti apa saat itu. Haha. Dan ku juga nggak bakal tahu kantor Pegadaian itu seperti apa.

Terima kasih banyak yaa sahabatku.

Setelah Baby Gold di dapat dari PT Pegadaian bulan Agustus, Septembernya ternyata Allah takdirkan untuk mengabdi disana. Dan infonya pun ku dapatkan dari sabahatku ini.

Saling menguatkan dan mengingatkan dalam kebaikan yaa, sahabat.



Ditulis di Jombang, 24 Januari 2022




Read More

Saturday, January 22, 2022

Allah yang Bukain Pintu Rumahnya Dokter

Beberapa hari terakhir gusiku sakit dan membengkak. Sudah diminumi obat, tapi belum berangsur kempes. Alhamdulillah dalam kondisi demikian Allah masih memberi nikmat kuat untuk aktivitas kerja seperti biasanya.

Kupikir sakit gusiku ini bakal lekas sembuh seperti yang beberapa tahun lalu ku alami. Ternyata makin menjadi. Dan aku harus lekas memeriksakan diri ke dokter gigi.

Tengah malam kebangun dan akhirnya scroll dokter gigi terdekat dengan kos. Disitu terlihat ada seorang dokter yang buka praktek jam 8 pagi.

Tepat jam 8 pagi aku bergegas berangkat kesana dengan menahan nyerinya gusi yang menjalar ke kepala. Sampai disana, ternyata di gerbang rumahnya tertulis kalau Minggu dan tanggal merah itu tidak buka praktek.

Ya Rabb. Harus kemana lagi? Pikirku.

Akhirnya aku menambahkan nomor HP yang tertera dipagar itu. Saat aku mengetik nomor HP, tetiba ada seorang ibu paruh baya yang datang menghampiriku. Beliau menanyakan tujuanku kesitu. Dan tak disangka, beliaulah dokter yang kutuju.

Dibukakanlah pintu rumahnya dan juga pintu ruangan prakteknya. Masyaa Allah, beliau tetap melayaniku. Harusnya tutup, tapi beliau menyempatkan waktu untukku.



Semua yang terjadi itu adalah atas ijin Allah.

Masyaa Allah. Tabarakallah.

Panjang umur kebaikan. Semoga sehat selalu bu dokter. Makin lancar dan berkah rezekinya.



Jombang, 23 Januari 2022

Read More

Saturday, January 15, 2022

Fighting

Kala itu, pas aku kelas X SMP ada tugas membuat video rekaman pembawa acara (reporter). Tugas tersebut merupakan salah satu penilaian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan dari situlah aku pertama kalinya mendengar suaraku yang sengau/bindeng (ada beberapa artikulasi yang kurang jelas). 

Bagaimana reaksi pertama setelah bertahun-tahun tak pernah menyadari bahwa suaraku sengau? Yang pasti aku kaget dan jadi nggak percaya diri. Aku lebih sering diam dan menunduk ketika berhadapan dengan orang lain.

Dan aku baru menyadari kenapa teman-temanku dulu sering menirukan gaya bicaraku, ternyata memang suaraku sengau. Sejak kecil, telingaku memang hanya mendengar suara normal manusia biasanya. Aku sama sekali tak pernah mendengar suaraku sengau. Dari suara rekaman video itulah aku mengetahuinya. Sebelumnya aku nggak pernah rekaman di HP atau media lainnya, sebab ya memang nggak punya media apa-apa.

Ketika ada tugas disuruh menyanyi lagu daerah, setelah nyanyi rasanya pengen nangis, tapi aku menahannya. Ketika ada tugas membaca pidato, aku dengan sekuat tenaga berusaha membacanya hingga akhir.

Ketemu orang baru lebih banyak diam karena takut tak diterima pembicaraanku. Namaku Dwi, agak susah diterima oleh orang yang baru mengenalku. Jadi aku lebih memilih menuliskannya di sebuah kertas. Atau mengucapkan nama Dewi lalu huruf E dibuang. Barulah mereka mengerti.

Itu ku rasakan bukan hanya sekali dua kali, tapi bertahun-tahun. Dan aku tetaplah menjadi anak pendiam, kala itu.

Di rumah, orang-orang sangat welcome. Gelak tawa menghiasi setiap sudut ruang. Bercanda jadi makanan tiap hari. Kata orang rumah, ketawaku seperti mbak kunthi atau mak lampir yang di TV. Dan orang bilang, ketawaku itu dirindukan, sebab ya memang hanya aku yang ketawanya bisa lepas.

Dari situ, semasa SMK aku mulai bisa tertawa lepas dengan teman-temanku. Meskipun awal-awal masuk ada beberapa yang menirukan pembicaraanku, aku tak menghiraukan. Aku tetap berusaha untuk ceria sebagaimana aku di rumah.

Aku salah satu anak yang malu jika berbicara di depan orang banyak. Jangankan di depan orang banyak, maju di depan kelas untuk berbicara saja aku juga malu. Tapi, aku punya pengalaman tepat 28 Oktober 2013 lalu pas upacara ada challenge dari guru PPKn. Siapa yang hafal isi Sumpah Pemuda disuruh menghadap beliau dan dikasih uang saku. Namun, yang terjadi bukan disuruh menghadap beliau, tapi disuruh maju ke tengah lapangan disamping beliau dan membacakannya. Aku hafal isinya. Akulah yang maju ke depan. Itulah pertama kali aku memegang microphone dan dengan lantang mengucapkan isi Sumpah Pemuda. Tangan gemetar memegang mic dan mataku otomatis terpejam. Setelah berhasil selesai mengucapkannya, gemuruh tepuk tangan terdengar dari seluruh peserta upacara. Rasanya legaaaa sekali aku berani tampil dimuka umum. Menjadi sejarah dan sebuah kebanggaan sendiri bagiku. Semenjak itulah, aku jadi dikenal oleh juniorku.

Bukan sekadar menginginkan uang saku dari ibu guru, tapi sebuah keberanian yang ada pada diri. Tak mudah bagiku untuk berani maju di depan umum. Terima kasih Dwi, kamu luar biasa. Kamu hebat berani tampil di depan umum.

Tak berhenti dimasa sekolah, lulus sekolah pun masih mempertanyakan pada diri sendiri. Adakah instansi yang mau menerimaku dengan kondisiku saat ini? Ada. Tegasku saat itu.

Dan Qodarullah, Allah berikan aku kesempatan bekerja 7 tahun di SMAIT Al Uswah Surabaya. Nggak menyangka aja seorang Dwi yang suaranya sengau bisa diterima jadi admin Koperasi Siswa disana. Padahal sengau, tapi diterima sebagai seseorang yang melayani banyak orang. Bagiku mustahil, tapi bagi Allah sangat mudah. Kegelisahanku, kekhawatiranku, ketidakpercayaannya diriku, Allah jawab dalam sekejap saja. Tak ada yang tak mungkin selagi Allah selalu di hati.

7 tahun di Surabaya itu liku-likunya juga tak biasa. Ini masih tentang suara sengau. Aku pernah mengalami dihina habis-habisan dengan seorang sales permen. Ia memaki-maki di depanku tentang kekuranganku (suara sengau). Dan yang ku lakukan hanya diam, tak sepatah kata pun aku lontarkan padanya. Ku dengarkan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aku diam seribu bahasa. Setelah ia pergi, cukup air mata lah yang menggambarkan suasana jiwa. Cukup 2 hari 2 malam aku menangisinya. Esoknya, aku berusaha bangkit dan berdamai dengan diri sendiri. Berusaha lapang dan menerima apa adanya.

Dan masih banyak hal lainnya yang pernah ku lalui bertahun-tahun lamanya. Aku percaya bahwa skenario Allah itu pasti terbaik untuk hamba-Nya. Apapun yang telah ku lalui tak lain adalah atas kehendak-Nya. Hari esok yang akan ku lalui pun pasti sudah Allah siapkan sedemikan rupa.

Fighting.

Dwi, kamu itu harus percaya diri. Kamu berani menuliskan kisahmu adalah sebuah apresiasi. Terima kasih atas segala cerita perjuangan yang pernah kamu lalui. Masih ada episode kehidupan yang pastinya masih menjadi misteri. Percayalah, Allah pasti kan memberikan yang terbaik.




Secuil kisah seorang Dwi Andayani

Ditulis sebagai pengingat diri

Agar tetap semangat menjalani hari


Jombang, 15 Januari 2022

Read More

Friday, January 14, 2022

Sepatu Tiga Puluh Lima Ribu

Ini adalah foto hari pertama kali aku menginjakkan kaki di PT Pegadaian Jombang dengan mengenakan sepatu tiga puluh lima ribu. Dulu, selama di Surabaya itu mengenakan sepatu karet dua puluh lima ribu. Bagiku, penting pakai sepatu dan pantas untuk dipakai.

Kenapa pakai barang yang murah? Ya karena belum mampu untuk membelinya. Dan Masyaa Allah, barang-barang bermerk Eiger, Elizabeth, dll yang ku punya itu kebanyakan adalah pemberian dari teman-temanku. Kalau sudah punya satu barang, aku sudah enggan untuk membeli barang serupa. Salah satu alasannya agar barang yang ada terpakai dan nggak mubadzir.

Balik lagi ke sepatu tiga puluh lima ribu.

Sepatu yang menemani keseharianku. Dan sepatu inilah yang membuat gelak tawa seisi kantor.

Kenapa bisa demikian?

Aku seringkali terjatuh dari kursi, terpleset lantai dan kebentur pintu, duduk kursi lalu kursinya lari, dan banyak kejadian lain yang menimpaku ketika memakai sepatu itu. Jatuhnya nggak sakit sebenarnya. Tapi malunya itu loh, seumur hidup. Haha.

Kurang lebih 3 bulan aku memakai sepatu itu, dan semenjak kejadian aku terpleset lalu kebentur pintu, esoknya aku beli sepatu baru. Setelah gajian langsung beli yang bagus sekalian.

Kenapa nggak sejak awal beli yang bagus? Ya karena belum cukup uangnya untuk membeli. Ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Jadi uangnya dibagi-bagi agar semua  bisa terealisasi. Untuk biaya akomodasi Surabaya - Jombang - Ngawi dan juga kebutuhan lain yang tak bisa ku sebutkan satu per satu.

Alhamdulillah, pada akhirnya Allah beri waktu yang tepat dan rezeki berlipat untuk beli sepatu seharga seratus dua puluh ribu. Ono rego ono rupo. Pepatah jawanya demikian. Ada barang ada harga. Dan itulah pertama kalinya aku pakai sepatu seharga ratusan ribu. Dan rasanya memang jauh beda dibandingkan dengan sepatu tiga puluh lima ribu. Lebih nyaman di kaki dan nggak membuatku terjatuh lagi. Kalaupun aku terjatuh bisa dipastikan bukan karena sepatu, tapi karena aku "kakehan polah" alias kebanyakan tingkah.

Aku bersyukur banget punya sepatu tiga puluh lima ribu itu. Karena darinya aku bisa menuliskan cerita ini. Dan sepatu itulah yang membuat seisi kantor penuh dengan gelak tawa. Aku yang terjatuh bukannya menangis, tapi ikutan tertawa dan tentunya malunya tak tertahankan. Hahaha.

Teruntuk sepatu seratus dua puluh ribu, semoga awet dan bertahan lama ya. Love you.



Jombang, 14 Januari 2022

Ditulis di sudut kamar mungil


Read More

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena