"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Saturday, January 15, 2022

Fighting

Kala itu, pas aku kelas X SMP ada tugas membuat video rekaman pembawa acara (reporter). Tugas tersebut merupakan salah satu penilaian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan dari situlah aku pertama kalinya mendengar suaraku yang sengau/bindeng (ada beberapa artikulasi yang kurang jelas). 

Bagaimana reaksi pertama setelah bertahun-tahun tak pernah menyadari bahwa suaraku sengau? Yang pasti aku kaget dan jadi nggak percaya diri. Aku lebih sering diam dan menunduk ketika berhadapan dengan orang lain.

Dan aku baru menyadari kenapa teman-temanku dulu sering menirukan gaya bicaraku, ternyata memang suaraku sengau. Sejak kecil, telingaku memang hanya mendengar suara normal manusia biasanya. Aku sama sekali tak pernah mendengar suaraku sengau. Dari suara rekaman video itulah aku mengetahuinya. Sebelumnya aku nggak pernah rekaman di HP atau media lainnya, sebab ya memang nggak punya media apa-apa.

Ketika ada tugas disuruh menyanyi lagu daerah, setelah nyanyi rasanya pengen nangis, tapi aku menahannya. Ketika ada tugas membaca pidato, aku dengan sekuat tenaga berusaha membacanya hingga akhir.

Ketemu orang baru lebih banyak diam karena takut tak diterima pembicaraanku. Namaku Dwi, agak susah diterima oleh orang yang baru mengenalku. Jadi aku lebih memilih menuliskannya di sebuah kertas. Atau mengucapkan nama Dewi lalu huruf E dibuang. Barulah mereka mengerti.

Itu ku rasakan bukan hanya sekali dua kali, tapi bertahun-tahun. Dan aku tetaplah menjadi anak pendiam, kala itu.

Di rumah, orang-orang sangat welcome. Gelak tawa menghiasi setiap sudut ruang. Bercanda jadi makanan tiap hari. Kata orang rumah, ketawaku seperti mbak kunthi atau mak lampir yang di TV. Dan orang bilang, ketawaku itu dirindukan, sebab ya memang hanya aku yang ketawanya bisa lepas.

Dari situ, semasa SMK aku mulai bisa tertawa lepas dengan teman-temanku. Meskipun awal-awal masuk ada beberapa yang menirukan pembicaraanku, aku tak menghiraukan. Aku tetap berusaha untuk ceria sebagaimana aku di rumah.

Aku salah satu anak yang malu jika berbicara di depan orang banyak. Jangankan di depan orang banyak, maju di depan kelas untuk berbicara saja aku juga malu. Tapi, aku punya pengalaman tepat 28 Oktober 2013 lalu pas upacara ada challenge dari guru PPKn. Siapa yang hafal isi Sumpah Pemuda disuruh menghadap beliau dan dikasih uang saku. Namun, yang terjadi bukan disuruh menghadap beliau, tapi disuruh maju ke tengah lapangan disamping beliau dan membacakannya. Aku hafal isinya. Akulah yang maju ke depan. Itulah pertama kali aku memegang microphone dan dengan lantang mengucapkan isi Sumpah Pemuda. Tangan gemetar memegang mic dan mataku otomatis terpejam. Setelah berhasil selesai mengucapkannya, gemuruh tepuk tangan terdengar dari seluruh peserta upacara. Rasanya legaaaa sekali aku berani tampil dimuka umum. Menjadi sejarah dan sebuah kebanggaan sendiri bagiku. Semenjak itulah, aku jadi dikenal oleh juniorku.

Bukan sekadar menginginkan uang saku dari ibu guru, tapi sebuah keberanian yang ada pada diri. Tak mudah bagiku untuk berani maju di depan umum. Terima kasih Dwi, kamu luar biasa. Kamu hebat berani tampil di depan umum.

Tak berhenti dimasa sekolah, lulus sekolah pun masih mempertanyakan pada diri sendiri. Adakah instansi yang mau menerimaku dengan kondisiku saat ini? Ada. Tegasku saat itu.

Dan Qodarullah, Allah berikan aku kesempatan bekerja 7 tahun di SMAIT Al Uswah Surabaya. Nggak menyangka aja seorang Dwi yang suaranya sengau bisa diterima jadi admin Koperasi Siswa disana. Padahal sengau, tapi diterima sebagai seseorang yang melayani banyak orang. Bagiku mustahil, tapi bagi Allah sangat mudah. Kegelisahanku, kekhawatiranku, ketidakpercayaannya diriku, Allah jawab dalam sekejap saja. Tak ada yang tak mungkin selagi Allah selalu di hati.

7 tahun di Surabaya itu liku-likunya juga tak biasa. Ini masih tentang suara sengau. Aku pernah mengalami dihina habis-habisan dengan seorang sales permen. Ia memaki-maki di depanku tentang kekuranganku (suara sengau). Dan yang ku lakukan hanya diam, tak sepatah kata pun aku lontarkan padanya. Ku dengarkan seksama setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aku diam seribu bahasa. Setelah ia pergi, cukup air mata lah yang menggambarkan suasana jiwa. Cukup 2 hari 2 malam aku menangisinya. Esoknya, aku berusaha bangkit dan berdamai dengan diri sendiri. Berusaha lapang dan menerima apa adanya.

Dan masih banyak hal lainnya yang pernah ku lalui bertahun-tahun lamanya. Aku percaya bahwa skenario Allah itu pasti terbaik untuk hamba-Nya. Apapun yang telah ku lalui tak lain adalah atas kehendak-Nya. Hari esok yang akan ku lalui pun pasti sudah Allah siapkan sedemikan rupa.

Fighting.

Dwi, kamu itu harus percaya diri. Kamu berani menuliskan kisahmu adalah sebuah apresiasi. Terima kasih atas segala cerita perjuangan yang pernah kamu lalui. Masih ada episode kehidupan yang pastinya masih menjadi misteri. Percayalah, Allah pasti kan memberikan yang terbaik.




Secuil kisah seorang Dwi Andayani

Ditulis sebagai pengingat diri

Agar tetap semangat menjalani hari


Jombang, 15 Januari 2022

2 komentar:

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena