Surabaya, 14-16 September 2016
Pengurus KLIK Surabaya dan perwakilan KLIK Malang
Tidak ada WhatsApp, SMS pun jadi.
Alhamdulillah aku masih bisa koordinasi dengan teman-teman pengurus KLIK
Surabaya walaupun tidak bisa maksimal.
Sebulan lalu seluruh pengurus
KLIK Surabaya berencana akan ikut Gathering Nasional yang diadakan di Malang.
Ternyata di hari H, hanya enam saja yang bisa hadir. Ada aku (Dwi), Dewi,
Liswa, Ria, Asa, pak Zain feat istri.
Yang lainnya berhalangan hadir karena ada urusan yang harus diselesaikan.
Jum’at sore, aku dan ketiga
temanku akan berangkat ke Malang naik kereta. Pak Zain dan istrinya berangkat
mengendarai sepeda motor. Sedangkan Asa berangkat hari sabtu pagi naik kereta
juga.
Jadwal keberangkatan kereta jam
20.05. Aku memilih berangkat setelah magrib jam 17.50 karena aku lupa jalan
menuju stasiun sehingga aku minta tolong saudaraku untuk mengantarku. Jika
berangkat setelah isya’ aku takut kalau macet dan terlambat. Konon jalan menuju
stasiun itu rawan macet. Sedangkan mereka bertiga memilih berangkat setelah
isya’.
“Dik, segera
kesini ya. Setelah sholat langsung berangkat”, kata temanku.
“Oke”, jawabku
singkat.
Sempat bingung ketika sudah
mendekati jalan menuju stasiun. Antara belok kiri atau kanan. Akhirnya aku
memilih belok kanan.
“Nah, ini
stasiunnya. Turun sini saja kalau begitu,” kataku sambil menunjuk pintu masuk
parkiran samping stasiun.
“Ya sudah.
Hati-hati ya dik.”
“Ok. Siap.”
Langkah kakiku sejenak berhenti
ketika memasuki parkiran.
“Kok, ada yang aneh ya,” kataku dalam hati. Langkahku semakin pelan
saat aku melihat gerbang utama stasiun. Kuperhatikan baik-baik. Mataku tak
kucek-kucek. Kepalaku tak garuk pelan, padahal tidak gatal. Aku mengingat-ingat
stasiun yang pernah kudatangi pertama kali dulu.
“Kok begini ya stasiunnya. Perasaan dulu tempat duduknya tidak diluar
begini. Tampilannya kok tidak sama dengan stasiun yang pernah kudatangi dulu
itu. Loketnya juga beda. Dulu ada mushola di samping sana (tegok-tengok),” sambil
duduk mengamati.
“…Atau memang stasiunnya sudah direnovasi ya (manggut-manggut).
Teruuuss, kok secepat ini ya renovasinya (gigit jari). Hebat banget. Sssttt…
Jangan-jangan…”, aku melongo. “Jangan-jangan
sekarang aku berada di stasiun baru. Wah, aku baru sadar ini. Oh Allah. Betapa
polosnya aku ini (menelan ludah)”.
Aku segera merogoh HP di tasku.
Kucoba untuk menenangkan diri. Segeralah aku mengirimkan pesan ke mbk Liswa.
Menanyakan kepastian dimana aku ini berdiri.
“Mbak Lis,
stasiun Gubeng itu memangnya ada dua ya? Gubeng Lama dan Gubeng Baru?”
Aku benar-benar tidak tahu.
“Iya mbak.
Kenapa?”, balasnya.
“Terus kita
nanti berangkat ke Malang naik kereta darimana?”
“Dari Gubeng
Lama mbak.”
“Ya Allah.
Mbak Liiisss. Kayaknya aku sekarang berada di Gubeng Baru deh.”
Untuk memastikan kebenaran, aku
menanyakan kepada petugas yang bersliweran di depanku. Ternyata memang benar
dugaanku, aku berada di stasiun baru.
“Yaaah, benar
mbak. Aku di stasiun baru. Btw,
stasiun baru dan lama itu beda atau sama?
Bersebrangan kah? Aku gimana donk?”, cemasku.
“Tak jemput.”
“Oke deh kalau
gitu. Aku menunggu dimana mbak?”
Adzan isya’ berkumandang. Aku
masih saja menunggu di kursi tunggu yang disediakan di stasiun.
“Di depan
stasiun ya”
“Maksudnya
depan gerbang mbak? Sebelah mana ya?”
Duh, polosnya aku ini. Hhhmm, ya bertanya lah pada petugas. Kan ada
petugas yang jaga tuh. #TepokJidat.
“Eh, gak jadi
mbak. Aku sudah bertanya pada petugas. Oke. Aku tunggu di depan ya.”
“Iya. Aku
otw.”
Tanpa pikir panjang, aku segera
bergegas menuju gerbang depan stasiun. Sesampainya, aku berdiri di pinggir
jalan tepat pintu masuk ke stasiun. Berkali-kali sopir taksi dan tukang becak
menghampiriku untuk menawarkan jasanya. Aku bilang kepada mereka bahwa aku
sedang menunggu jemputan teman.
Kulihat masih jam 19.15. Tenang,
baru 15 menit aku menunggu.
“Mungkin sebentar lagi datang. Kan bersebrangan
stasiunnya.” Pikirku.
Kulihat lagi, sudah jam 19.30.
“Wah, 30 menit lagi. Kok belum datang ya.”
harap-harap cemas.
Segera kulayangkan SMS ke mbak
Ria.
“Mbak, kereta
berangkat jam berapa?”
“Jam 20.05.
Ini Liswa masih otw. Jangan SMS ya. Dia lagi nyetir soale.”
“Oke mbak.
Kutunggu.”
Jam 19.45. kukirimkan pesan lagi
ke mbak Ria.
“Mbak, kok
belum datang juga ya. 20 menit lagi loh.”
“Tunggu dek.
Jalanan masih macet.”
“Iya deh
mbak.”
Jam 19.50. Jantungku berdetak
cepat. Kurang 15 menit lagi kereta kan melaju. Tapi mbak Liswa belum juga
muncul. Ya Allah. Aku hanya bisa berserah diri pada-MU.
Tepat 19.55 mbak Liswa datang.
“Mbak, ayok”
“Iya. Ayok.”
Segeralah aku naik ke motornya.
“Kurang berapa
menit mbak Dwi?”
“10 menit lagi
mbak”
“Oke. Maaf ya
kalau ngebut.”
“Iya. Gpp.”
100 meter dari titik aku berdiri
tadi, kepalaku tak pegang. Ya Allah. Ternyata aku tidak pakai helm. Wah.
Mungkin mbak Liswa lupa ngasihkan helmnya.
Kulihat arah depan bawah motor
mbak Liswa. Tidak ada helm yang menggantung di motornya. Aku mau bertanya tak
urungkan karena ia sedang ngebut. Ya sudahlah. Bismillah. Semoga tidak ada
polisi.
Ketika akan melewati rel, tiba-tiba palang
kereta tertutup. Jantungku dag dig dug.
“Mbak,
jangan-jangaaan, kereta yang mau kita naiki mau lewat ini mbak. Wah, gimana
ini?”
“Alamat
mbak, kita berangkat besok kalau misal sudah berangkat keretanya.”
Aku terus melantunkan sholawat
Nabi. Jantungku benar-benar masih berdegup. Palang sudah terbuka, ternyata
hanya kepala kereta saja yang lewat. Nah, ketika kita sampai di tengah-tengah
rel, tiba-tiba palang akan menutup lagi. Ayooo
mbak sedikit lagiii. Seruku. Alhamdulillah aku tidak sampai terjebak di
tengah rel. Rintangan akhirnya terlewati.
“Jangan-jangan
yang mau lewat itu adalah kereta tujuan malang, mbak,” seruku lagi. Tanpa ada jawaban dari mbak Liswa.
Sedari
tadi kepalaku tak pegang terus. Ketika di tikungan jalan mbak Liswa berkata,
“Mbak Dwi gak bawa helm ya? Duh aku sampai lupa.”
“Hehe,
iya mbak. Aku gak bawa helm. Tadi kan aku diantar, jadi helmnya yaa dibawa
lagi.”
“Haha,
aku lupa bawakan juga. Gak sadar saking
mendadaknya.” sahutnya. “Nanti kalau misal kita ketinggalan kereta, kita
berangkat besok saja mbak. Tapi kita usahakan kita segera sampai. Semoga tidak
terlambat.”
“Iya
mbak. Aamiin.”
Sampai di perempatan, jalanan
ternyata macet. Katanya ada acara di Grand City. Ketika sampai di tengah jalan,
aku disuruh berhenti mbak Liswa. Turun di tengah jalan. Menerobos kemacetan.
Aku diturunkan tepat didepan stasiun. Sedangkan mbak Liswa memilih putar balik
agar sampai stasiun.
“Mbak
Dwi turun sini saja ya. Mbak nerobos jalanan agar segera sampai. Eman-eman tiketnya. Ntar hangus. Jika
aku terlambat, aku tak berangkat besok saja.”
“Iya
mbak. Oke. Terus tiketnya?”
“Ada
di mbak Ria, mbak. Nanti hubungi mbak Ria ya.”
“Iya
mbak,” sahutku sambil lari menerobos kemacetan.
Aku bergegas turun dari motor.
Menerobos kemacetan. Menghentikan mobil-mobil yang lewat dengan tanganku. Aku
berjalan sekuat tenaga, walaupun saat itu kakiku sedang sakit.
Sampai di depan stasiun. What (menepuk jidat), aku kan gak bawa
tiket. Oh ya, aku harus segera menghubungi mbak Ria. Seketika itu pula aku
melayangkan pesan ke mbak Ria.
Di depan parkiran terlihat ada
wanita yang sedang duduk. Kudatangi dengan lari tergopoh-gopoh dan berharap itu
adalah mbak Ria.
Taukah apa yang terjadi? Ternyata
itu bukan mbak Ria.
Lalu kubuka pesan dari mbak Ria.
Dhek, tiket kalian tak titipkan pak security yang jaga di depan.
Mataku terbelalak. Aku lari
terbirit-birit bak dikejar anjing menuju pintu masuk. Nafasku ngos-ngosan.
“Pak,
apakah tadi ada tiket yang dititipkan?”
“Iya
mbak. Ada. Atas nama Dwi Andayani ya?” sahutnya. “Pak, nambah satu lagi bisa
apa
tidak?”, lanjutnya ke petugas yang di dalam kereta.
“Iya
pak. Dwi Andayani.”
“Maaf
mbak. Kereta sudah jalan.”
“Yaaahh,
ya sudah pak.” Aku langsung lemas. Mencari tempat duduk di dalam stasiun dan
menenangkan diri. Menarik nafas panjang setelah berlarian.
Para petugas stasiun mulai
berkemas. Hari sudah malam. Stasiun mulai sepi. Pintu gerbang ditutup. Aku pun
terpaksa menunggu di luar stasiun. Rasanya badanku langsung lemas seketika.
Memang belum rezeki untuk berangkat malam itu.
Segeralah aku SMS mbak Liswa.
Mengabari bahwa aku sudah terlambat. Aku bingung mau pulang naik apa. Dan mbak
Liswa menawariku untuk diboncengnya lagi. Alhamdulillah.
Lima menit kemudian.
“Mbak,
ayoo,” panggilnya menggungah lamunanku. “Waah, sendirian. Menunggu sampai stasiunnya tutup. Memang berangkat jam berapa mbak?” ledeknya dengan tertawa
kecil.
“Eh,
iya mbak. Ayoo. Hiiikkss, aku
sendirian. Berangkat jam 6 bisa terlambat,” nyengir lalu tertawa.
Hari ini memang banyak sekali
pengalaman-pengalaman yang tak kan pernah kulupa. Pengalaman yang paling
mengesankan selama aku di Surabaya ini. Ya, baru kali ini aku bisa terlambat
naik kendaraan. Rasnya sesuatu sekali, karena aku tidak terbiasa terlambat
dalam hal apapaun.
Di perjalanan pulang menuju
kontrakannya mbak Liswa, aku sedari tadi senyum-senyum sendiri. Pipiku tak
cubit-cubit. Seakan-akan kejadian malam ini seperti mimpi. Begitupun mbak
Liswa, ia senyum-senyum juga.
“Pasti
nanti bakalan heboh mbak di kontrakan. Heboh karena kita tidak jadi berangkat,” cetusnya.
“Hahaha,
iya mbak. Pasti itu”.
“Eh,
bagaimana kalau besok kita naik sepeda motor saja mbak?”
“Hhmm,
tapi aku tidak punya SIM mbak. Mbak punya kan?”
“Punya
mbak. Tapi motorku gak kuat di jalanan menanjak mbak.”
“Hhhmm,
pakai motorku aja mbak. Kuat kok mbak.”
“Oke
deh kalau gitu. Berarti kita sekarang menuju Masjid Manarul, ngambil motormu
dulu ya mbak.”
“Iya.”
Sampai di Manarul, aku ditanyai mengapa bisa sampai terlambat naik
kereta. Saudaraku tertawa setelah tau ceritaku. Ia geleng-geleng kepala. Ia pun
meledekku.
Perutku berontak.
Memanggil-manggil pemiliknya untuk diisi. Kupegang perutku. Belum terisi.
Segeralaha aku pulang dan beli makan. Malam itu aku memilih untuk menginap di
kontrakan mbak Liswa agar besok bisa berangkat bersama dan tidak terlambat.
Saat kami berdua beli makan. Mbak
liswa bertemu negan teman kostnya. Temannya kaget dan spontan bertanya. Mbak
Liswa pun menceritakan kejadian yang kami alami Ia tertawa dan geleng-geleng
kepala. Begitu pula sampai di kostnya mbak Liswa, ia mendadak jadi narasumber.
Setelah selesai menceritakan
semua kejadian malam ini, mbak Liswa chattingan
di grup whatsapp KLIK Surabaya.
Menceritakan kejadian yang terjadi tadi.
Heboh sekali malam ini. Ternyata
tidak hanya aku dan mbak Liswa saja yang mengalami kejadian miris ini. Mbak
Dewi dan mbak Ria juga mengalami kejadian miris.
Ceritanya, mbak Dewi menabrak
tong sampah ketika ia lari menuju stasiun. Ia lari karena sebentar
lagi kereta
melaju. Saat itu pula ada bapak-bapak yang bilang, “Wedhus (bin : kambing)”.
Seketika itu pula langkah mbak Dewi dan mbak Ria berhenti. Mereka berdua hanya
bilang minta maaf lalu pergi. Bapaknya mengatakan ‘wedhus’ lagi.
Beda lagi dengan mbak Ria. Ketika
mereka berdua sudah sampai di stasiun Malang, mereka menunggu jemputan. Tengah
malam mereka hanya berdua dan ditemani dua sejoli. Uhuyy, jangan baper yaah.
Katanya sopir yang akan
menjemput, sebentar lagi ia kan datang. Mbak Ria dan mbak Dewi girang sekali
mendengarnya. Lalu mbak Ria beranjak dari tempat duduknya. Ia melihat ada mobil
Avanza putih yang baru datang dan tengah akan parkir di dekat stasiun. Mbak Ria
menunjukkan hal itu pada mbak Dewi.
Mbak Ria senangnya bukan
kepalang. Ia harap segera merebahkan tubuhnya di kasur. Duh, senangnya.
Ia pun lari dan menyeret mbak
Dewi. Ia ingin segera masuk mobil. Nah, ketika sampai di samping mobil, ia
berkaca-kaca di kaca mobil. Duh, aku
bingung berkata-kata. Saat itu, pak sopir yang mengendarai mobil itu turun.
“Mbak, itu
siapa. Kok sopirnya bukan mas Icik?” sambil menutup mulut dan bicara pelan.
“Duh, iya dek.
Kayaknya ini bukan mobil yang mau menjemput kita deh.”
“Wah, yuukk
mbak kita pergi”
Akhirnya mereka beranjak pergi
dari mobil itu. Dan tak lama kemudian mobil dari KLIK Malang telah datang. Mbak
Ria malu bukan kepalang. Hahaha.
Lain lagi kejadiannya Asa. Ketika
perjalanan naik kereta menuju Malang, orang yang duduk bersebrangan dengan
kursinya ada bapak-bapak yang tidurnya mendengkur alias ngorok. Disitulah ia merasa tidak nyaman. Lalu ia mengirim pesan di
WA, grup KLIK Surabaya.
“Pagi-pagi
sudah ada grandong,” kata Asa.
Serentak, aku dan mbak Liswa yang
duduknya dibelkang Asa langsung tertawa. Ya
Allah, bapak itu dikatakan grandong. Sungguh teganya dikau Sa. Aku hanya
membatin saja.
Memang, sepanjang perjalanan itu
bapaknya mendengkur terus. Ketika ia dibangunkan untuk pengecekan tiket, ia
sama sekali tidak bangun. Ketika dibangunkan malah suaranya semakin keras.
Siapa yang tidak tertawa. Hahaha. Ini
suasanan perjalanan yang mungkin tak akan terlupakan.
***
Ada-ada saja pengurus KLIK
Surabaya ini. Setiap pengurus pasti ada saja kejadian miris yang dialami. Kalau
teringat akan kejadian ini pasti rasanya ingin tertawa. Karena ini adalah
kejadian yang semasa hidupku baru pertama kalinya aku mengalami. Semoga
kedepannya aku tidka mengulanginya lagi.
Itulah sedikit coretaan penaku. Dwi Andayani. Pengurus KLIK Surabaya. Mungkin tulisannya masih belum beraturan. Maafkan. Aku masih belajar menulis kawan.
Subhanallah. Alhamdulillah. Allahu Akbar. Perjalanan kami (Pengurus
KLIK Surabaya) berjalan dengan penuh perjuangan. Dan akhirnya kami dipertemukan
dengan saudara-saudara KLIK dari berbagai daerah. Seluruh pengurus KLIK
Indonesia berkumpul jadi satu di Villa Putih Batu. Kami benar-benar meraasakan
kekeluargaan itu. Banyak pelajaran kami dapatkan dari pertemuan itu. Semoga
tahun depan, 2017 nanti kita bisa
berkumpul lagi di Surabaya. Aamiin.