Belajar Kehidupan
Di Surabaya ini
aku dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki karakter dengan pekerjaan yang berbeda. Dan
pastinya caraku menyikapi mereka juga berbeda. Berbeda cara menyikapi bukan
bermaksud untuk membeda-bedakan. Tapi ini untuk interaksinya yang berbeda antara
aku dengan mahasiswa, pejabat, dan lain-lain. Disini saya berbicara dengan
petugas kebersihan, penjual gorengan, penjual nasi kuning, penjual es, penjual
mie, dan penjual-penjual makanan lainnya.
Tak kenal maka
tak sayang. Maka hal yang pertama kali ku lakukan ketika bertemu mereka adalah
berkenalan. Berawal dari nama hingga keluarga dan alamat rumah. Walaupun
terkadang aku tak tau pasti dimana alamat tersebut berada, aku pun dengan polos
mengiyakannya dan bertanya arah jalan kesana. Agar mereka tersenyum bahagia.
Dari
interaksi-interaksi dengan mereka itu aku dapat ilmu yang mungkin tak akan ku
dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah. Apa itu? Ilmu kehidupan. Dari
merekalah aku belajar. Belajar bagaimana menjalani hidup dengan penuh
perjuangan.
Bapak petugas kebersihan.
Ia orang yang sabar. Tutur katanya lembut. Ketika anak-anak dengan tidak
sengaja menumpahkan air atau kotoran dengan sigap ia segera membersihkannya
tanpa berkata-kata. Ketika ia disuruh membantu angkat-angkat barang ia segera
bergegas. Ia selalu siap siaga ketika ia disuruh ini itu. Biasanya orang-orang
itu kalau dimintai bantuan selalu minta imbalan. Berbeda dengan bapaknya, ia
malah menolak jika diberikan imbalan. Kecuali jika itu gajian. Ia tak akan menolak.
Dari bapak itu
aku bisa belajar bagaimana kesiapsiagaan itu penting untuk hidup. Termasuk siap
siaga untuk bertemu dengan kehidupan selanjutnya yang kekal. Kehidupan di
akhrat.
Ibu penjual
gorengan. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya. Ketika bertemu aku tak lupa cium
tangannya. Ia pernah membantuku banyak hal. Aku dapat ilmu rumah tangga ketika
aku mengenalnya. Ia pernah bercerita bagaimana membangun rumah tangga dan apa
saja yang ada di dalamnya.
Membangun rumah
tangga itu tak semudah telapak tangan. Ketika kita jalan terkadang kaki kena
duri, kesandung lalu jatuh, tiba-tiba memar, dan lain-lain. Begitu juga dengan
kehidupan, pasti ada duri jalanan yang menghadang. Kita harus bisa
menyingkirkannya pelan-pelan. Semua itu ada prosesnya. Mendengar cerita tentang
bagaimana membangun rumah tangga itu membuatku untuk benar-benaar mempersiapkannya. Terima kasih
ibu.
Ibu penjual nasi
kuning. Ia dikaruniai dua anak. Suaminya sudah meninggal tahun lalu. Sekarang
ia mencari rezeki dengan jualan nasi kuning, online shop, dan jualan seprei. Ia
pernah bercerita bagaimana kondisi suami beberapa hari sebelum meninggal. Ah,
aku jadi merasakan bagaiman ditinggalkan orang yang dicintai. Semoga Allah
berikan kemudahn ibu itu untuk bisa tetap menjalani kehidupan dengan mencari
rezeki yang halal untuk menghidupi anak-anaknya. Aamiin.
Oh iya, satu
lagi dari ibunya. Ia selalu mengatakan kepadaku bahwa seberapapun rezeki yang
kita dapatkan hari ini itulah rezeki yang sudah Allah tetapkan untuk kita. Yang
terpenting kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjemput rezeki itu.Walaupun
nasi kuning ibu itu kadang tidak laku berarti Alhamdulillah ibu masih diberikan
kesempatan oleh Allah untuk bersedekah. Masyaa Allah sungguh pelajaran hidup
yang luar biasa.
Ibu penjual es.
Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia lulus SMA sedangkan suaminya sedang
menempuh S3. Ia mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya pekerjaan terbaik
seorang wanita itu adalah iu rumah tangga. Gaji terbaiknya adalah anak yang
sholeh sholehah. Namun bukan berarti wanita karir itu bukan wanita terbaik. Ia
tetap menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Karena dari rahim ibu
lah seorang anak lahir ke dunia. Ia yang mengandung, menyusi bahkan merawatnya
hingga besar. Allah tidak akan pernah memandang apa gelarmu, tapi bagaimana
pertanggunggjawabanmu atas kewajibanmu.
Itulah sedikit
dari pelajaran kehidupan yang pernah aku dapatkan. Masih banyak lagi dan perlu
belajar lagi dari orang-orang yang sudah makan garam. Sungguh aku saat ini
belum ada apa-apanya dari kehidupan mereka. Semoga sepenggal cerita itu bisa
kita jadikan pelajaran.
Jika hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan pun juga hidup.
Karena hidup tak sekedar hidup.
0 komentar:
Post a Comment