"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Thursday, January 21, 2016

Belajar Kehidupan


Belajar Kehidupan


Di Surabaya ini aku dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki  karakter dengan pekerjaan yang berbeda. Dan pastinya caraku menyikapi mereka juga berbeda. Berbeda cara menyikapi bukan bermaksud untuk membeda-bedakan. Tapi ini untuk interaksinya yang berbeda antara aku dengan mahasiswa, pejabat, dan lain-lain. Disini saya berbicara dengan petugas kebersihan, penjual gorengan, penjual nasi kuning, penjual es, penjual mie, dan penjual-penjual makanan lainnya.
Tak kenal maka tak sayang. Maka hal yang pertama kali ku lakukan ketika bertemu mereka adalah berkenalan. Berawal dari nama hingga keluarga dan alamat rumah. Walaupun terkadang aku tak tau pasti dimana alamat tersebut berada, aku pun dengan polos mengiyakannya dan bertanya arah jalan kesana. Agar mereka tersenyum bahagia.
Dari interaksi-interaksi dengan mereka itu aku dapat ilmu yang mungkin tak akan ku dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah. Apa itu? Ilmu kehidupan. Dari merekalah aku belajar. Belajar bagaimana menjalani hidup dengan penuh perjuangan.
Bapak petugas kebersihan. Ia orang yang sabar. Tutur katanya lembut. Ketika anak-anak dengan tidak sengaja menumpahkan air atau kotoran dengan sigap ia segera membersihkannya tanpa berkata-kata. Ketika ia disuruh membantu angkat-angkat barang ia segera bergegas. Ia selalu siap siaga ketika ia disuruh ini itu. Biasanya orang-orang itu kalau dimintai bantuan selalu minta imbalan. Berbeda dengan bapaknya, ia malah menolak jika diberikan imbalan. Kecuali jika itu gajian. Ia tak akan menolak.
Dari bapak itu aku bisa belajar bagaimana kesiapsiagaan itu penting untuk hidup. Termasuk siap siaga untuk bertemu dengan kehidupan selanjutnya yang kekal. Kehidupan di akhrat.
Ibu penjual gorengan. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya. Ketika bertemu aku tak lupa cium tangannya. Ia pernah membantuku banyak hal. Aku dapat ilmu rumah tangga ketika aku mengenalnya. Ia pernah bercerita bagaimana membangun rumah tangga dan apa saja  yang ada di dalamnya.
Membangun rumah tangga itu tak semudah telapak tangan. Ketika kita jalan terkadang kaki kena duri, kesandung lalu jatuh, tiba-tiba memar, dan lain-lain. Begitu juga dengan kehidupan, pasti ada duri jalanan yang menghadang. Kita harus bisa menyingkirkannya pelan-pelan. Semua itu ada prosesnya. Mendengar cerita tentang bagaimana membangun rumah tangga itu membuatku untuk  benar-benaar mempersiapkannya. Terima kasih ibu.
Ibu penjual nasi kuning. Ia dikaruniai dua anak. Suaminya sudah meninggal tahun lalu. Sekarang ia mencari rezeki dengan jualan nasi kuning, online shop, dan jualan seprei. Ia pernah bercerita bagaimana kondisi suami beberapa hari sebelum meninggal. Ah, aku jadi merasakan bagaiman ditinggalkan orang yang dicintai. Semoga Allah berikan kemudahn ibu itu untuk bisa tetap menjalani kehidupan dengan mencari rezeki yang halal untuk menghidupi anak-anaknya. Aamiin.
Oh iya, satu lagi dari ibunya. Ia selalu mengatakan kepadaku bahwa seberapapun rezeki yang kita dapatkan hari ini itulah rezeki yang sudah Allah tetapkan untuk kita. Yang terpenting kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjemput rezeki itu.Walaupun nasi kuning ibu itu kadang tidak laku berarti Alhamdulillah ibu masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk bersedekah. Masyaa Allah sungguh pelajaran hidup yang luar biasa.
Ibu penjual es. Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia lulus SMA sedangkan suaminya sedang menempuh S3. Ia mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya pekerjaan terbaik seorang wanita itu adalah iu rumah tangga. Gaji terbaiknya adalah anak yang sholeh sholehah. Namun bukan berarti wanita karir itu bukan wanita terbaik. Ia tetap menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Karena dari rahim ibu lah seorang anak lahir ke dunia. Ia yang mengandung, menyusi bahkan merawatnya hingga besar. Allah tidak akan pernah memandang apa gelarmu, tapi bagaimana pertanggunggjawabanmu atas kewajibanmu.
Itulah sedikit dari pelajaran kehidupan yang pernah aku dapatkan. Masih banyak lagi dan perlu belajar lagi dari orang-orang yang sudah makan garam. Sungguh aku saat ini belum ada apa-apanya dari kehidupan mereka. Semoga sepenggal cerita itu bisa kita jadikan pelajaran.

Jika hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan pun juga hidup.
Karena hidup tak sekedar hidup.

0 komentar:

Post a Comment

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena