"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Thursday, January 28, 2016

Keluarga Khoir Part 1

Keluarga Khoir Part 1

           
“Ibaratnya kita mengajukan proposal ke Allah untuk di ACC. Jika belum di ACC kita harus bersabar dan berusaha memperbaiki proposal tersebut. Mungkin masih ada kekurangannya. Berulang-ulang mengirimkan proposal hingga di ACC itu butuh perjuangan. Tidah hanya sekali dua kali.
 Itulah hidup,”
Kata pak Khoir kepada istrinya dengan tegas.

Dalam rumah tangga itu harus saling menguatkan. Saling menutupi kekurangan masing-masing sehingga tidak merasa bahwa dirinyalah yang paling hebat. Selalu tawakal dan tawadu’ dalam segala hal. Mengkomunikasikan segala sesuatu dengan bermusyawarah. Itulah yang pak Khoir dan bu Khadijah tanamkan sejak mereka memutuskan untuk mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga bersama. Mencetak generasi yang berakhlak mulia. Yang mampu menjadi penyelamat keluarga saat di akhirat.

Pak Khoir adalah lulusan Sarjana Teknik sedangkan bu Khadijah lulusan SMA. Pak Khoir menikahi bu Khadijah karena agamanya. Baik budi pekertinya. Dan tentunya atas dasar cinta karena-NYA. Itulah yang Allah tetapkan untuknya. Hingga pak Khoir pun tak pernah memandang istrinya itu lulusan apa. Ia meyakini bahwa istrinya mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak-anaknya.

Bertahun-tahun lamanya mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Hingga kini mereka dikaruniai 4 anak yang sholih-sholihah tentunya. Siapakah diantaranya?

Ahmad, anak pertamanya. Sembilan belas tahun usianya. Saat ini duduk di bangku SMA kelas XII di Surabaya. Ia sosok yang jenius di bidang Fisika. Sehingga ia dijuluki pakar Fisika sejak SMP sampai sekarang.

Fatimah, anak keduanya. Lima belas tahun usianya. Si jenius yang jago Matematika. Karena jeniusnya, ia pernah menjuarai Olimpiade Matematika tingkat Nasional. Di kamarnya terdapat banyak penghargaan dan piala. Sekarang ia duduk di bangku SMP kelas IX. Setelah lulus ia ingin melanjutkan ke SMA yang ada bimbingan tahfidznya. Ia ingin seperti adiknya yang kini sudah memiliki hafalan banyak.

Aisyah, anak ketiganya. Sebelas tahun usianya. Si sholihah yang cita-citanya ingin menjadi hafidzah 30 juz. Kini hafalannya sudah 10 juz. Diantara saudaranya dialah yang paling banyak hafalannya. Sehingga membuat kakak-kakaknya ingin menghafal bersamanya. Ia jago dalam hal menulis. Ia pun pernah menjuarai lomba menulis puisi tingkat provinsi.

Abdullah, anak terakhirnya. Tujuh tahun usianya.Sekarang duduk di bangku SD kelas satu. Ia tak kalah dengan kakaknya. Ia telah hafal juz 29 dan 30. Targetnya lulus SD sudah hafal 30 juz.



Read More

Wednesday, January 27, 2016

Tampang S2

Tampang S2
“Mbak S2 di ITS ya?”

Salah satu hal yang menggelitik hatiku ketika aku bertemu dengan mahasiswa ITS yang belum pernah kenal. Sudah berkali-kali aku menjawab pertanyaan yang sama. “Mbak, S2 disini (red:ITS) ya?”. Tarik nafas, tahan, lepaskan. Eh, jangan lewat bawah loh ya (kentut donk). Itu salah satu caraku ketika aku ditanya hal itu. Tarik nafas lalu tersenyum padanya.

“Mbak, S2 di ITS ya?”, tanyanya.

            “Nggak mbk.” (Kaget, mengerutkan dahi dan menahan tawa)

            “Mbak kuliah disini kan? Angkatan tahun berapa mbak?” (Dengan wajah tak percaya)

            “Iya. Saya angkatan 2014. Mbak?”

            “Oalah. Maaf ya mbak kirain mbak S2 disini. Saya S2 angkatan 2014.”

Mereka terssipu malu ketika aku menjawab bahwa aku baru lulus SMK tahun kemarin lalu D1 di ITS. Akhirnya minta maaf kepadaku. Aku sendiri tak tahan menahan tawa. Aku mencoba tersenyum saja.

Bukan nama terlebih dahulu yang mereka tanyakan padaku. Tapi saat ini aku sedang menempuh studi apa. Mungkinkah tampangku itu tampang S2 di ITS? Aaarrrggghhh. Hahaha. Jangankan S2, S1 saja aku belum bisa J. Masih sedang berproses menuju kesana (red: Kuliah bukan nikah). Do’akan ya.

Terima kasih atas do’anya. Ucapan kalian adalah do’a untukku.

Saat aku masih SMK dikira aku sudah Mahasiswa. Dan akhirnya aku jadi Mahasiswa setelah lulus SMK. Saat aku menempuh D1 dikira aku S2. Semoga do’anya terkabul. Aku bisa melanjutkan S1 dan S2. JJJ

Jika bertemu mahasiswa ITS ditanya hal itu. Lalu jika ditanya alumni pasti menanyakan, “Mbak, sudah nikah?”. Hahaha. Pertanyaan yang tak pernah tertinggal. (Tutup mulut, tahan tawa). Aku hanya menggelengkan kepala saja. (Anti BAPER).

Allah sudah merajut benang-benang terbaik untukku.

Aku percaya hal itu.
Read More

Cita-cita Masa Kecilku


Cita-cita Masa Kecilku


Foto bersama santiwan/i saat aku masih SMK kelas XI J

Aku yang mana yaa???

Sejak kecil aku ditanyai tentang cita-citaku ingin menjadi apa. Aku menjawabnya dengan semangat dan aku tak menghiraukan keadaanku. Guru. Ya, aku ingin jadi guru. Bagimana muridku bisa menerima apa yang aku sampaikan jika bicaraku masih begini? Bagaimana mereka memahami apa yang aku bicarakan? Ah, sudahlah. Kecacatanku tak menghalangiku untuk meraih sebuah cita-cita. Aku pasti bisa.

Waktu ke waktu terus berjalan. Beberapa tahun kemudian Allah menjawab cita-citaku. Menjadi guru ngaji di kampungku. Subhanallah. Aku inginnya setelah lulus kuliah nanti tapi Allah memberi saat aku masih duduk di bangku SMP. Aku memang tak meminta jadi guru ngaji, yang terpenting aku bisa merasakan jadi guru. Eh, ternyata Allah lebih cepat mengabulkan citaa-citaku. 

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Di usia yang masih belia itu aku dihadapkan pada anak-anak yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang serin nangis, berantem, ramai sendiri ketika yang lain belajar, dan lain-lain. Dari situlah aku belajar sabar, belajar menghadapi anak-anak yang berbeda karakter.

Ada saatnya aku lembut dan ada saatnya pula aku harus tegas. Jadi guru itu juga harus bisa memahami kondisi dan karakter tiap anak. Kita pun bisa dengan mudah mengatur mereka.

Alhamdulillah Allah sudah mempertemukanku dengan mereka. Mereka yang gigih untuk bisa belajar membaca Al-Qur’an. Aku salut dengan perjuangan mereka. Walaupun hujan mengguyur semangatpun tak pernah luntur. Walau satu kilo jarak yang mereka tempuh tapi mereka tak pernah mengeluh. Kaki-kaki mungil itu mengingatkanku akan sebuah perjuangan. Terima kasih adik-adikku.

Semoga kalian tetap istiqomah dalam belaajar. Menuntut Ilmu dunia akhirat. Kakakmu disini hanya mampu mendo’akanmu. Sukses selalu untuk kalian. Dari kalian aku belajar kehidupan. Ilmu yang mungkin tak bisa kudapatkan ketika aku di luar kampung halaman.

Read More

Tuesday, January 26, 2016

KMDP Bukan KMGP

“Mbak Dwi, mbak Dwi, mbak Dwi” panggil salah satu siswa.
“Ada apa dek?” sahutku.
“Mbak Dwi itu kok usil ya. jail banget jadi orang.”
“Terus kenapa dek? Baru tahu yaa kalau mbak itu jail. Dari dulu kali dek.”
“Eh, tapi kalau gak ada mbk Dwi sepi donk. Hhhmmm…”
“Kenapa dek?”
“Mbak Dwi jangan pergi ya. Kalau di film sekarang yang di bioskop itu kan ada yang judulnya Ketika Mas Gagah Pergi. Nah, mbak Dwi jangan pergi loh ya.”
“Loh memang kenapa dek kalau mbak pergi?”
“Nanti jadinya bukan KMGP tapi KMDP (Ketika Mbak Dwi Pergi), terus Al Uswah jadi sepi. Tenang saja mbak nanti saya jadikan pemeraan utamanya ya, biar terkenal.”
“Hahaha…kamu ini ada-ada aja dek. Ketika Mbak Dwi Pergi, Al Uswah jadi sepi.”

            Selalu ada saja hal yang adik-adik perbuat padaaku. Mereka sering menggodaku untuk tersenyum dan tertawa bersama mereka. Inilah salah satu yang membuatku tidak bosan berlama-lama dengan mereka. Tak ingin meninggalkan mereka.
            Terima kasih adik-adik AL Uswah Surabaya. Tak terasa kita sudah setahun lebih bersama disini. Kalian itu membuatku betah disini. Walaupun kalian itu sukanya menggodaku. Tapi aku juga sering menggoda kalian. Hahaha. Semoga kalian bisa menjadi generasi pemuda yang beriman dan berakal. Tentu baik budi pekerti dan akhlaknya. Aamiin.
            Kalian bilang mbk Dwi ini baper gara-gara sering ditanya ‘kapan nikah?’. Nah loh, mbak biasa saja kok dek. Mbak hanya tersenyum saja. Aku tahu mengapa kalian menanyakan hal itu. Karena kalian ingin melihat mbak bahagia. Hahaha Alay.

@SMAIT Al Uswah Surabaya
Read More

Sunday, January 24, 2016

Puncak Lawu


Berawal dari Puncak Lawu inilah aku berani bermimpi besar.

            Sehari setetelah Ujian Nasional dilaksanakan aku diajak teman-temanku untuk mendaki ke Gunung Lawu. Tanpa persiapan fisik sama sekali. Biasanya sebelum mendaki itu harus mempersiapkan fisik terlebih dahulu dengan olahraga agar badan bisa fit. Yang persiapan saja biasanya belum tentu sampai puncak apalagi yang tanpa persiapan. Aku sama sekali tak memikirkan hal ini waktu itu. Yang aku fikirkan hanya aku bisa sampai puncak Lawu.
            Aku pernah menderita ashma. Biasanya kalau terkena hawa dingin langsung kambuh. Tapi tetap saja aku nekad untuk berangkat mendaki. Alhamdulillah orang tua mengijinkan karena di rombongan itu ada guruku. Dalam rombongan ada enam laki-laki dan dua perempuan termasuk aku. Ah, rasanya seperti mimpi saja.
            Saat aku menenmpuh perjalanan aku meyakinkan diri bahwa aku bisa sampai Puncak Lawu. Aku pasti bisa. Itu gumanku dalam hatiku dan aku tanamkan dalam otakku. Aku tak akan menyerah untuk sampai di Puncak. Bismillah.
            Hawa dingin menusukk jantungku. Jantungku pun berdebar-debar ketika kakiku menginjakkan di start pendakian. Ku berdo’a dengan kepala menengadah ke langit. Semoga aku selamat sampai puncak hingga kembali lagi disini. Kuatkanlah kakiku melangkah untuk menikmati keindahan alam-MU dan kebesaran ciptaan-MU.
            Langkah demi langkah kaki ini meninggalkan start pendakian. Jauh. Semakin menjauh. Kaki ini terasa ringan untuk melangkah. Sejuknya hari itu membuatku semangat. Indahnya pemandangan itu membuatku tak henti tersenyum. Ah, sungguh indah pemandangan yang Allah suguhkan padaku saat ini. Yang menghiasi sepanjang perjalananku.
            Di sepanjang perjalanan itu terdapat beberapa pos untuk istirahat. Nah, untuk menentukan seseorang itu bisa sampai puncak atau tidak itu ditentukan oleh kondisi pada saat sampai di pos 2. Kalau wajah pucat dan tangan dingin, tidak boleh melanjutkan perjalanan. Begitu sebaliknya. Alhamdulillah rombonganku terlihat sehat-sehat saja. Mungkin ada sedikit rasa lelah yang menggelayuti. Akhirnya rombonganku berhenti sejenak.
            Sayup-sayup terdengar suaara adzan dhuhur berkumandang. Kami pun melaksanakan sholat. Walaupun mendaki itu menguras tenaga dan waktu, namun kewajiban beribadah harus tetap dilaksanakan.
            Di tengah-tengah perjalanan ada temanku cewek (Danik) yang kelelahan dan ia perlu digandeng tangannya. Sebaliknya dengan aku, aku terlalu bersemangat. Melangkah lebih cepat dari teman-temanku cowok. Mereka ku tinggal. Ah, aku jadi lupa dengan danik yang tengah berusaha untuk berjalan. Aku pun harus menemaninya. Aku selalu menyemangati Danik bahwa kita mampu sampai puncak.
Perjalanan ini memang butuh tenaga ekstra untuk bisa sampai puncaknya. Sesekali ia jalan lalu berhenti lagi. Jalanan yang aku lalui saat itu seperti tangga. Ada bebatuannya pula. Jika hujan pasti jalanan ini licin. Aku tak bisa membayangkannya. Syukurlah hari itu tidak hujan. Sesekali aku mencari jalan pintas agar aku sampai lebih awal dari teman-temanku. Karena kau tak suka yang biasa dilewati. Selalu mencari sensasi baru diperjalanan.
Di sepanjang perjalanan itu aku sering berpapasan dengan pendaki-pendaki lainnya. Mereka membawa tas gunung dan sepatu khusus. Sedangkan aku hanya memakai sepatu cat dan tas yang biasanya untuk sekolah. Wah, aku terlalu minimaalis saat itu. Seperti main-main saja. tak senyumin aja ketika mereka melirik ke arahku. Mereka juga membawa tongkat, aku tangan hampa. Rasanya seperti sudah ada yang menuntunku sepanjang perjalanan. Alay euy.
Hari sudah semakin sore. Semburat senja begitu terlihat. Langit-langit memerah. Matahari mulai tenggelam. Mata terpana melihat keindahan-NYA. Mulut ini tak henti-hentinya bertasbih memuji-NYA. Gelap semakin gelap. Kemerlap lampu di perkotaan terliahat begitu memukau. Cahayanya seperti bintang di langit. Ternyata itu adalah gemerlap lampu kotaku. Ngawi tercinta.
Perjalanan kurang 1 jam lagi sepertinya. Kaki ini mulai terseok-seok untuk melangkah. Allah kuatkanlah langkahku. Pintaku dalam hati. Alhamdulillah cahaya lampu di puncak mulai terlihat. Pertanda bahwa sebentar lagi akan sampai.
Yeah, akhirnya sampai juga di salah satu warung yang berdiri di puncak Lawu. Disitulah aku bermalam karena tidak bawa tenda pribadi. Kurebahkan tubuhku lalu mengambil wudhu. Bbbrrr. Dinginnya benar-benar menusuk jantung. Dinginnya air di puncak itu melebihi dinginnya air es. Setelah wudhu pun aku memakai jaket double. Pakai sarung tangan dan kaos kaki double juga. Barulah aku mendirikan sholat.
Saat tidur tubuhku menggigil kedinginan. Guruku merelakan Slim Bag-nya tak pakai. Ah, aku jadi merasa merepotkan orang. Alhamdulillah Allah menolongku.
Keesokan harinya jam tiga sudah mulai bangun semua. Segeralah aku bersiap-siap menuju puncak Lawu. Disana sudah banyak orang yang berkerumun untuk menyaksikan terbitnya sang Surya. Satu hal yang tak pernah kulupa saat-saat perjalanan. Mukena. Aku bersikeras membawanya walaupun terlihat ribet. Dan aku akan mendirikan sholat shubuh di puncak Lawu.
Fajar telah terbit. Subhanallah. Inilah pertama kalinya aku menyaksikan terbitnya fajar dari ketinggian. Benar-benar merasakan kekuasaan-NYA yang luar biasa. Allah Maha Besar. Sungguh seakan aku tak percaya bisa sampai puncak Lawu ini. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Itulah sekilas cerita perjalananku menuju puncak Lawu. Dari sinilah aku belajar. Dari sinilah aku berani bermimpi besar. ‘Beranilah bermimpi besar karena matahari yang besar dan panas itu mampu ku genggam dengan tangaku’. Itulah kata-kata yang selalu ku ingat dari Danang.A Prabowo. Aku yakin, yakin, dan yakin pasti BISA. Itu yang aku tanamkan dalam diriku. Karena yakin bahwa Allah bersama selalu. Karena aku yakin bahwa Allah selalu menjawab semua do’aku.

Ini sebagian foto-foto saat aku di Gunung Lawu:


Detik-detik terbit fajar

Terbit fajar

Sekitar puncak

Pekarangan bunga dekat warung

Jelajah puncak

Rumah botol

Negeri di atas awan


Apa yang dapat kalian petik dari sekilas perjalananku???






Read More

Thursday, January 21, 2016

Belajar Kehidupan


Belajar Kehidupan


Di Surabaya ini aku dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki  karakter dengan pekerjaan yang berbeda. Dan pastinya caraku menyikapi mereka juga berbeda. Berbeda cara menyikapi bukan bermaksud untuk membeda-bedakan. Tapi ini untuk interaksinya yang berbeda antara aku dengan mahasiswa, pejabat, dan lain-lain. Disini saya berbicara dengan petugas kebersihan, penjual gorengan, penjual nasi kuning, penjual es, penjual mie, dan penjual-penjual makanan lainnya.
Tak kenal maka tak sayang. Maka hal yang pertama kali ku lakukan ketika bertemu mereka adalah berkenalan. Berawal dari nama hingga keluarga dan alamat rumah. Walaupun terkadang aku tak tau pasti dimana alamat tersebut berada, aku pun dengan polos mengiyakannya dan bertanya arah jalan kesana. Agar mereka tersenyum bahagia.
Dari interaksi-interaksi dengan mereka itu aku dapat ilmu yang mungkin tak akan ku dapatkan di bangku sekolah maupun kuliah. Apa itu? Ilmu kehidupan. Dari merekalah aku belajar. Belajar bagaimana menjalani hidup dengan penuh perjuangan.
Bapak petugas kebersihan. Ia orang yang sabar. Tutur katanya lembut. Ketika anak-anak dengan tidak sengaja menumpahkan air atau kotoran dengan sigap ia segera membersihkannya tanpa berkata-kata. Ketika ia disuruh membantu angkat-angkat barang ia segera bergegas. Ia selalu siap siaga ketika ia disuruh ini itu. Biasanya orang-orang itu kalau dimintai bantuan selalu minta imbalan. Berbeda dengan bapaknya, ia malah menolak jika diberikan imbalan. Kecuali jika itu gajian. Ia tak akan menolak.
Dari bapak itu aku bisa belajar bagaimana kesiapsiagaan itu penting untuk hidup. Termasuk siap siaga untuk bertemu dengan kehidupan selanjutnya yang kekal. Kehidupan di akhrat.
Ibu penjual gorengan. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya. Ketika bertemu aku tak lupa cium tangannya. Ia pernah membantuku banyak hal. Aku dapat ilmu rumah tangga ketika aku mengenalnya. Ia pernah bercerita bagaimana membangun rumah tangga dan apa saja  yang ada di dalamnya.
Membangun rumah tangga itu tak semudah telapak tangan. Ketika kita jalan terkadang kaki kena duri, kesandung lalu jatuh, tiba-tiba memar, dan lain-lain. Begitu juga dengan kehidupan, pasti ada duri jalanan yang menghadang. Kita harus bisa menyingkirkannya pelan-pelan. Semua itu ada prosesnya. Mendengar cerita tentang bagaimana membangun rumah tangga itu membuatku untuk  benar-benaar mempersiapkannya. Terima kasih ibu.
Ibu penjual nasi kuning. Ia dikaruniai dua anak. Suaminya sudah meninggal tahun lalu. Sekarang ia mencari rezeki dengan jualan nasi kuning, online shop, dan jualan seprei. Ia pernah bercerita bagaimana kondisi suami beberapa hari sebelum meninggal. Ah, aku jadi merasakan bagaiman ditinggalkan orang yang dicintai. Semoga Allah berikan kemudahn ibu itu untuk bisa tetap menjalani kehidupan dengan mencari rezeki yang halal untuk menghidupi anak-anaknya. Aamiin.
Oh iya, satu lagi dari ibunya. Ia selalu mengatakan kepadaku bahwa seberapapun rezeki yang kita dapatkan hari ini itulah rezeki yang sudah Allah tetapkan untuk kita. Yang terpenting kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjemput rezeki itu.Walaupun nasi kuning ibu itu kadang tidak laku berarti Alhamdulillah ibu masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk bersedekah. Masyaa Allah sungguh pelajaran hidup yang luar biasa.
Ibu penjual es. Ia pernah bercerita kepadaku bahwa ia lulus SMA sedangkan suaminya sedang menempuh S3. Ia mengatakan kepadaku bahwa sesungguhnya pekerjaan terbaik seorang wanita itu adalah iu rumah tangga. Gaji terbaiknya adalah anak yang sholeh sholehah. Namun bukan berarti wanita karir itu bukan wanita terbaik. Ia tetap menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Karena dari rahim ibu lah seorang anak lahir ke dunia. Ia yang mengandung, menyusi bahkan merawatnya hingga besar. Allah tidak akan pernah memandang apa gelarmu, tapi bagaimana pertanggunggjawabanmu atas kewajibanmu.
Itulah sedikit dari pelajaran kehidupan yang pernah aku dapatkan. Masih banyak lagi dan perlu belajar lagi dari orang-orang yang sudah makan garam. Sungguh aku saat ini belum ada apa-apanya dari kehidupan mereka. Semoga sepenggal cerita itu bisa kita jadikan pelajaran.

Jika hidup hanya sekedar hidup, kera di hutan pun juga hidup.
Karena hidup tak sekedar hidup.
Read More

Wednesday, January 20, 2016

Ibadah dan Ilmu

Ibadah dan Ilmu

            Ibadah dan ilmu. Sekhusyuk apapun seseorang beribadah belum tentu ia ikhlas dalam melaksanakannya. Keikhlasan seseorang dalam beribadah hanya Allah yang tau. Maka itu jangan pernah memvonis kekhusyukan ibadah seseorang bahwa ia khusyuk atau tidak. Ibadah itu dilandasi dengan niat dan hati yang ikhlas.
            Ada seseorang yang ahli ibadah. Sholat lima waktu selalu berjama’ah, puasa sunah tak pernah bolong, ahli tahajud, ahli dhuha. Tetapi ia tak pernah baik dengan tetangganya. Ia merasa tetangganya tidak selevel dengan dia. Ia selalu memvonis dia kafir, dia musyrik, dia tidak ikhlas, dan lain-lain. Ia juga sombong merasa bahwa dirinyalah yang paling baik. Ia pun kikir tak pernah menyantuni anak yatim dan fakir.
            Semoga ia yang seperti itu segera dibukakan hatinya. Diberikan hidayah oleh-NYA. Aamiin. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan seseorang dimasa depan. Kita tahu bahwa orang itu sekarang seperti itu lalu beberapa tahun kemudian ia menjadi seorang yang sholeh. Jangan pernah kita mengatakan bahwa orang tersebut akan masuk neraka. Karena kita tak tahu bahwa pintu hidayah akan terbuka untukknya. Ketika kita melihat suatu kemungkaran atau keburukan, berdo’alah yang baik-baik. Jangan lantas kita mendo’akan agar ia terjerumus lebih dalam. Karena hal itu bisa jadi akan menimpa diri kita sendiri.
            Tetaplah berilmu dan jangan pernah berhenti menuntut ilmu. Ilmu tak hanya kita dapatkan dari buku saja. Ilmu bisa kita dapatkan dari kehidupan yang kita jalani. Itulah ilmu kehidupan. Ilmu yang didapatkan tiap orang yang pastinya berbeda-beda. Senantiasalah rendah diri. Jangan pernah memandang orang ini baik atau buruk. Baik dihadapan kita belum tentu baik dihadapan Allah. Begitu sebaliknya.


Ibadah dan ilmu yang diperoleh dari majelis ta’lim atau pengajian, tidak sampai merasuk ke hati.Tidak meresap ke jiwa. Yang sejatinya ilmu itu menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semakin rajin ibadahnya semakin baik akhlaknya. Namun ilmu hanyalah menjadi sebuah teori dan hafalan. Dan ibadahnya tidak masuk ke relung hati dan jiwanya. (Ust.Abdullah Zaen).
Read More

Waktu


Tak kan ada habisnya jika kita membicarakan waktu. Banyak perumpamaan-perumpaaan yang menggambarkan waktu. Waktu bisa mematikanmu. Bisa pula menghidupkanmu. Waktu bisa mematikanmu dikala kau menyia-nyiakannya. Menghidupkanmu kala kau gunakan sebaik-baiknya. Bahkan waktu bisa menjauhkanmu  dari Tuhanmu. Waktu itu laksana pedang. Maka, tebaslah waktu sebelum kau ditebas oleh waktu.
Kita lihat jam dinding yang jarumnya tak henti berputar dan ia tak bisa berputar balik. Nah seperti itulah kehidupan kita. Kita tak dapat kembali ke hari sebelumnya untuk merasakan hal yang sama.
Jangan pernah menunda-nunda waktu untuk mengisi hari-hari kita dengan kegiatan bermanfaat. Salah satunya adalah menulis. Terkadang kita menunda-nunda waktu untuk menulis. Untuk itu yuuukk kita luangkan waktu untuk menulis. Lima belas menit saja dari waktumu. Jika itu bisa istiqomah In Syaa Allah kita akan terbiasa menulis tiap hari.
Jika kita menunda-nunda akhirnya nanti bisa malas dan kita tak jadi menulis karena hal tersebut. Nanti, nanti, dan nanti. Itulah kebiasaan yang mungkin berat kita hindari. Waktu itu ternyata bisa melenakan kita. Ayolah jangan bermalas-malasan. Kita hidup hanya sekali lalu mati.
Kita harus pandai-pandai memanajemen waktu. Salah satu caranya adalah membuat jadwal harian. Dengan jadwal itu awal-awalnya kita selalu melihat apa yang harus kita kerjakan pada jam itu. Nah, dari hari ke hari pasti kita akan terbiasa dengan jadwal yang sudah kita buat. Dari situlah waktu akan termanajemen dengan baik. Kita bisa membedakan waktu untuk bekerja, waktu untuk mengerjakan tugas, waktu untuk membaca, waktu untuk menulis, waktu untuk istirahat, dan waktu untuk lain-lainnya.
So, ayo perbaiki diri dengan memanajemen waktu. Dengan manajemen waktu kita bisa mengisi hari-hari kita dengan kegiatan bermanfaat dan tak terbengkalai apa yang sudah kita atur. Kalaupun waktu yang sudah kita tetapkan itu meleset 5 menit atau lebih dari itu adalah sebuah kewajaran. Tapi kalau meleset hingga satu jam itu suatu ketidakmampuan kita dalam memanajemennya. Semua bisa kita atur selama kita benar-benar berniat Lillahi Ta’ala dan ingin memperbaiki diri. 
Read More

Tuesday, January 19, 2016

Yakin Bisa


      Sebuah perjuangan yang tak pernah ku lupakan. Yang akan menjadi sejarah dalam kehidupanku. Alhamdulillah aku bisa merasakan bagaimana kuliah di ITS. Itulah kado terindah dari-NYA untukku.
    Masih kuingat bahwa ketika aku masih SMK kelas X aku sudah memiliki impian untuk bisa kuliah di ITS jurusan Teknik Informatika. Aku tak minta itu D1 atau S1 karena dulu aku tidak tahu tentang hal itu, yang terpenting aku bisa kuliah di ITS. Aku minta yang terbaik pada-NYA. Dan Alhamdulillah Allah memberikanku kesempatan untukkuliah di ITS, D1 PIKTI (Pendidikan Informatika dan Komputer Terapan).
    Mengapa aku bisa masuk ITS? Semua itu karena yakin. Karena keyakinan kupada-NYA bahwa Allah pasti akan mengabulkan permintaan hamba-NYA. Karena Allah MahaPengasih Lagi Maha Penyayang.
   Untuk kawan-kawanku semua, yakinlah bahwa Allah itu ada.Yakinlah bahwa kita mampu menggapai impian kita. Ketika kita gagal mencapai impian kita yakinlah bahwa Allah pasti sudah mempersiapkan kado yang terindah untuk kita. Yakinlah kita bisa.    
    Wisuda. Ini bukanlah akhir dari segalanya. Ini adalah awal sebuah perjuangan. Masih ada yang harus aku perjuangkan lagi. Langkahku masih panjang. Ini baru saja wisuda D1. Aku belum menempuh S1. Semoga Allah masih memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu hingga S1.Yakin aku bisa.Aamiin.
Read More

Saturday, January 16, 2016

Hidup Untuk Berbagi



“Mbak, ini untuk kamu,”
“Oh, iyaa bu. Lalu untuk anak ibu mana?”
“Tenang saja mbak, sudah ada kok. Saya senang bisa berbagi dengan mbak. saya sangat berterima ksih mbak telah menolong saya.”
“Sama-sama bu.”
“Saya tahu mbak, saya ini adalah orang susah. Suami saya juga sudah meninggal. Namun, saya harus bisa memikul tanggung jawab ke anak. Saya harus menafkahi anak saya mbak, saya harus menyekolahkannya. Saya senang bisa berbagi dengan mbak. Hidup itu untuk berbagi mbak. Sedikit dari yang kita punya itu akan lebih baik jika kita saling berbagi. Saya yakin mbak, ALLAH sudah mengatur rezeki saya. Meskipun dagangan saya tidak habis, namun nanti saya jual di rumah In Syaa ALLAH habis mbak. Alhamdulillaah saya di rumah juga masih bisa jualan mbak. Di rumah banyak anak-anak kecil yang TPA. Ya beginilah mbak saya menopang hidup saya. menafkahi keluarga saya. Anak saya dan adik saya. Ya sudah ya mbak, saya mau pulang dulu.”
Begitulah percakapan singkat sore itu (9 Maret 2015).
Dapat kita ambil hikmah dari dialog tersebut. Pada hakikatnya kita sebaiknya saling berbagi dengan sesama dalam keadaan apapun. Syukuri keadaan yang ada. Jangan pernah mengeluh dalam keadaan apapun. Dan masih banyak hikmah lain yang dapat kita petik.
Berbagi yuuukkk!!!
 
#09032015
Read More

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena