"Maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu Dustakan?" QS. Ar-Rahman:55

Tuesday, January 14, 2020

Nulis Santuy Perihal Syukur

Perihal menulis, aku bukanlah ahlinya. Aku hanya sekedar mampu menuliskan kata semampunya. Menuangkan apa saja yang ada di kepala. Hasilnya pun seringkali tak bisa dinikmati pembaca.

Ah sudahlah, abaikan sejenak. Aku ingin bercerita tentang kehidupan dunia…

Berbicara tentang syukur itu tak kan ada habisnya. Sejak dulu hingga sekarang aku masih terus saja belajar apa itu syukur dan bagimana mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Aku pernah merasakan kesendirian perihal keistimewaan yang ada padaku. Jika kamu melihatku pasti ada yang berbeda dengan bentuk fisik bibir dan hidungku. Dan juga suaraku yang sengau.

Keadaanku itu terkadang membuatku tak percaya diri ketika berada di lingkungan baru. Aku merasa sangat asing dan jadi pendiam karena suaraku sengau. Volume suara pun selalu kecil karena malu. Dan seringkali ada yang menirukan gaya bicaraku saat pertama kali mengenalku. Itu adalah salah satu hal yang membuatku ciut nyali untuk banyak bicara. Berasa sangat malu untuk bicara. Daripada sakit hati, aku memilih banyak diam tanpa sepatah kata.

Setelah perenungan panjang dan mencoba bersabar atas segala kejadian, Allah langsung mempertemukan aku dengan orang-orang yang mengalami kondisi sama sepertiku. Bahkan ada yang kondisinya lebih parah dariku.

Ada orang yang sampai usia tua kondisi bibirnya belum dioperasi. Mungkin karena terbatasnya informasi pada jamannya waktu itu. Aku merasa tercabik-cabik jika melihat kondisi tersebut. Pasti celaan, hinaan, hujatan, dll itu lebih parah dariku.

Lalu, ada juga yang menjalani operasi berkali-kali untuk bisa lebih optimal hasilnya. Sedangkan aku dulu hanya sekali operasi dan hasilnya optimal, minus suara sengau dan bentuk hidung yang tidak simetris.

Aku dulu pernah mendengar perbincangan perawat dengan orang tua pasien sebelahku bahwa operasi bibir anaknya diambilkan dari daging paha. Aku yang mendengar ceritanya jadi merinding dan merasakan sakitnya. Seketika itu aku langsung memegang pahaku dan ternyata pahaku masih utuh. Lalu datanglah seorang dokter, ia berbincang pada orang tuaku. Katanya malah dagingnya bibirku dikurangi, tidak diambilkan dari daging paha. Hatiku pun langsung lega rasanya.

Jika aku ceritakan semua, rasanya tak sanggup jari ini menuliskannya. Serasa aku menyelami kehidupan mereka yang cobaannya lebih berat dariku. Maka dari itu aku tak boleh mengeluh sedikitpun. Apa yang aku hadapi tak seberapa. Ada diluar sana yang sangat berat cobaannya.

Disinilah letak syukurku. Dimana Allah itu selalu mengingatkanku agar senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang tak pernah terukur. Dan aku jadi tersadar bahwa sebesar apapun ujian kehidupanku ternyata masih banyak yang lebih besar dariku.

Surabaya, 14 Januari 2020

0 komentar:

Post a Comment

© Seberkas Cahaya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena